Hampir sepuluh tahun Penilaian 360
derajat diterapkan di PT.Pupuk Kaltim, bagaimana Evaluasinya ?. Adakah masih
tetap relevan untuk perkembangan kedepannya ?. Lalu Fenomena nilai MINUS yang
ditahun 2015 menghebohkan karyawan. Apa sebab nilai minus ? rasanya nilai 0
saja harus dipertanyakan, apakah karyawan tidak bisa bekerja ? lalu bagaimana
dengan nilai minus (HUTANG)…apakah karyawan harus membayar atau dipotong
pendapatan dengan nominal tertentu ?.Rasanya perlu hal ini menjadi perhatian
managemen, perlu adanya sharing kembali sebagai sarana evaluasi terhadap system
penilaian 360 derajat.
Penilaian 360 derajat adalah salah
satu teknik evaluasi terhadap kinerja karyawan dengan berdasarkan umpan balik (feed
back) yang diberikan oleh karyawan terhadap perusahaan. Hal ini menunjukkan
bahwa penilaian ini cukup adil dan tidak ada pihak yang diberi kelonggaran
dalam penilaian.Ideal sekali bukan ?.Kita membayangkan bahwa Dalam
implementasinya, para atasan akan menemui bawahannya secara satu per satu untuk
mendiskusikan tentang penilaian kinerja mereka. Dengan metode penilaian 360
derajat, karyawan akan mengetahui seberapa jauh kinerja yang diberikan mereka
terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya berdasarkan pengamatan dari
atasan, rekan kerja, mitra, bawahan, dan pelanggan.
Dalam penerapannya, penilaian 360
derajat memiliki dampak positif dalam mengurangi risiko diskriminasi, karyawan
cenderung lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, dapat mengetahui apa
kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh karyawan dan apa yang perlu di
evaluasi sehingga karyawan dapat memperbaiki kinerja mereka menjadi lebih baik
lagi, meningkatkan kualitas karyawan, reliabilitas karyawan dalam pekerjaan dan
dalam bekerja sama dengan orang lain, Kecepatan karyawan dalam menyelesaikan
pekerjaan.
Namun, tidak terlepas dari
kekurangannya, penilaian 360 derajat menunjukkan kelemahan pada latar belakang
penilaian terhadap kinerja karyawan yang tidak dijelaskan sehingga mengurangi
kualitas dan reliabilitas dari penilaian 360 derajat . Dan juga apabila
penilaian dilakukan oleh para penilai yang KURANG BERPENGALAMAN dapat
menyebabkan misinterpretasi penilaian. Selain itu, dengan penilaian 360 derajat
dapat menyebabkan bias penilaian (hallo effect) karena penilaian yang tidak
spesifik .Bagi sebagian teman bisa menjadi ajang “Pelampiasan” rasa tidak suka,
atau malah karena rasa sungkan, tidak enak terhadap kawan atau atasan.
Bila dilihat di Indonesia, dari
berbagai instansi yang telah menggunakan metode ini, penerapan penilaian 360 derajat
tidak terlepas dari kontroversi, Sekalipun tampak lebih baik dibandingkan metode
penilaian konvensional, dampak positif dan akurasinya masih patut
dipertanyakan. Oleh sebab itu, banyak perusahaan di Indonesia yang tidak
menerapkan metode penilaian ini dalam memberikan penilaian terhadap kinerja
karyawan karena jarang perusahaan yang menerapkan penilaian 360 derajat
berdampak positif terhadap kinerja karyawan,lebih sering terjadi bias penilaian
akibat si penilai itu sendiri.
Pertama, budaya Indonesia yang
umumnya cenderung kurang ekspresif(memiliki rasa tidak enak terhadap bawahan atau
rekan) , umpan balik yang diberikan biasanya tidak jelas(ragu-ragu) seberapa
tinggi atau sebaliknya seberapa rendah kinerja seseorang. Hal yang sering
muncul adalah kecenderungan untuk menempatkan nilai di seputar titik tengah,
dengan memilih kata:CUKUP-LUMAYAN-AGAK, atau yang setara dengan itu yang
menunjukkan ketidakpastian dari hasil penilaian sehingga ketepatan penilaian
menjadi meragukan. Hal ini berdampak terhadap kemudahan dalam menetapkan siapa
yang benar-benar berkinerja bagus, dan siapa yang masih perlu dikembangkan
lebih lanjut.
Kedua, karena terbiasa dalam
lingkungan budaya lisan, masyarakat kita tidak terbiasa untuk menuangkan
pikiran dalam bentuk tulisan. Akibatnya, ketika harus menuliskan umpan balik
yang diharapkan, mereka cenderung mengalami kesulitan untuk mengungkapkannya
secara jelas karena munculnya pertimbangan-pertimbangan yang malah berdampak
negatif terhadap kualitas penilaian. Konsekuensinya, tidak mudah untuk
mengidentifikasi aspek apa yang sebenarnya sudah dinilai bagus dan aspek apa
yang masih harus ditingkatkan. Akhirnya,aspek yang seharusnya sudah bagus ikut
ditingkatkan sehingga terdapat aspek yang kurang dan perlu ditingkatkan malah
jadi terlewati karena banyaknya aspek yang perlu diperbaiki karyawan.
Ketiga, mengingat sifatnya yang
mudah memaafkan, orang Indonesia cenderung bersikap murah hati ketika dimintai
umpan balik. Akibatnya, penilaian yang diberikan bisa jadi tidak akurat tidak
mencerminkan perilaku dan kinerja yang sebenarnya. Menimbang
kontraversi-kontraversi diatas dapat dikatakan bahwa penilaian 360 derajat
tidak selalu cocok(compatible) pada seluruh organisasi. Kita sebagai pemilik
perusahaan yang beranggapan bahwa penilaian 360 derajat lebih fair dan
objektif, secara tidak langsung hanya membuat kita kelelahan tanpa bisa
meyakini apakah kita memenangi pertandingan atau tidak.
Kini timbul pertanyaan, jika
mengingat point-point diatas, apakah metode penilaian 360 derajat cocok diberlakukan
di Indonesia ? padahal dari point diatas jelas bahwa bagi perusahaan efek 360
derajat “Tidak terasa”. Berdasarkan alasan-alasan yang sudah disebutkan
sebelumnya, lebih baik perusahaan menggunakan metode penilaian lainnya yang
lebih cocok diterapkan di Indonesia seperti dengan Teknik Essay, Critical
Incident, BARS, BOS, Forced Choice Scales, Forced Distribution, dan Point
Allocation Method................(Mas Abu-JPP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar