Rabu, 12 Oktober 2016

Sepuluh Tahun dengan Penilaian 360 Derajat...


         Hampir sepuluh tahun Penilaian 360 derajat diterapkan di PT.Pupuk Kaltim, bagaimana Evaluasinya ?. Adakah masih tetap relevan untuk perkembangan kedepannya ?. Lalu Fenomena nilai MINUS yang ditahun 2015 menghebohkan karyawan. Apa sebab nilai minus ? rasanya nilai 0 saja harus dipertanyakan, apakah karyawan tidak bisa bekerja ? lalu bagaimana dengan nilai minus (HUTANG)…apakah karyawan harus membayar atau dipotong pendapatan dengan nominal tertentu ?.Rasanya perlu hal ini menjadi perhatian managemen, perlu adanya sharing kembali sebagai sarana evaluasi terhadap system penilaian 360 derajat.
Penilaian 360 derajat adalah salah satu teknik evaluasi terhadap kinerja karyawan dengan berdasarkan umpan balik (feed back) yang diberikan oleh karyawan terhadap perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian ini cukup adil dan tidak ada pihak yang diberi kelonggaran dalam penilaian.Ideal sekali bukan ?.Kita membayangkan bahwa Dalam implementasinya, para atasan akan menemui bawahannya secara satu per satu untuk mendiskusikan tentang penilaian kinerja mereka. Dengan metode penilaian 360 derajat, karyawan akan mengetahui seberapa jauh kinerja yang diberikan mereka terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya berdasarkan pengamatan dari atasan, rekan kerja, mitra, bawahan, dan pelanggan.

Dalam penerapannya, penilaian 360 derajat memiliki dampak positif dalam mengurangi risiko diskriminasi, karyawan cenderung lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, dapat mengetahui apa kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh karyawan dan apa yang perlu di evaluasi sehingga karyawan dapat memperbaiki kinerja mereka menjadi lebih baik lagi, meningkatkan kualitas karyawan, reliabilitas karyawan dalam pekerjaan dan dalam bekerja sama dengan orang lain, Kecepatan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan.

Namun, tidak terlepas dari kekurangannya, penilaian 360 derajat menunjukkan kelemahan pada latar belakang penilaian terhadap kinerja karyawan yang tidak dijelaskan sehingga mengurangi kualitas dan reliabilitas dari penilaian 360 derajat . Dan juga apabila penilaian dilakukan oleh para penilai yang KURANG BERPENGALAMAN dapat menyebabkan misinterpretasi penilaian. Selain itu, dengan penilaian 360 derajat dapat menyebabkan bias penilaian (hallo effect) karena penilaian yang tidak spesifik .Bagi sebagian teman bisa menjadi ajang “Pelampiasan” rasa tidak suka, atau malah karena rasa sungkan, tidak enak terhadap kawan atau atasan.

Bila dilihat di Indonesia, dari berbagai instansi yang telah menggunakan metode ini, penerapan penilaian 360 derajat tidak terlepas dari kontroversi, Sekalipun tampak lebih baik dibandingkan metode penilaian konvensional, dampak positif dan akurasinya masih patut dipertanyakan. Oleh sebab itu, banyak perusahaan di Indonesia yang tidak menerapkan metode penilaian ini dalam memberikan penilaian terhadap kinerja karyawan karena jarang perusahaan yang menerapkan penilaian 360 derajat berdampak positif terhadap kinerja karyawan,lebih sering terjadi bias penilaian akibat si penilai itu sendiri.

Pertama, budaya Indonesia yang umumnya cenderung kurang ekspresif(memiliki rasa tidak enak terhadap bawahan atau rekan) , umpan balik yang diberikan biasanya tidak jelas(ragu-ragu) seberapa tinggi atau sebaliknya seberapa rendah kinerja seseorang. Hal yang sering muncul adalah kecenderungan untuk menempatkan nilai di seputar titik tengah, dengan memilih kata:CUKUP-LUMAYAN-AGAK, atau yang setara dengan itu yang menunjukkan ketidakpastian dari hasil penilaian sehingga ketepatan penilaian menjadi meragukan. Hal ini berdampak terhadap kemudahan dalam menetapkan siapa yang benar-benar berkinerja bagus, dan siapa yang masih perlu dikembangkan lebih lanjut.

Kedua, karena terbiasa dalam lingkungan budaya lisan, masyarakat kita tidak terbiasa untuk menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan. Akibatnya, ketika harus menuliskan umpan balik yang diharapkan, mereka cenderung mengalami kesulitan untuk mengungkapkannya secara jelas karena munculnya pertimbangan-pertimbangan yang malah berdampak negatif terhadap kualitas penilaian. Konsekuensinya, tidak mudah untuk mengidentifikasi aspek apa yang sebenarnya sudah dinilai bagus dan aspek apa yang masih harus ditingkatkan. Akhirnya,aspek yang seharusnya sudah bagus ikut ditingkatkan sehingga terdapat aspek yang kurang dan perlu ditingkatkan malah jadi terlewati karena banyaknya aspek yang perlu diperbaiki karyawan.

Ketiga, mengingat sifatnya yang mudah memaafkan, orang Indonesia cenderung bersikap murah hati ketika dimintai umpan balik. Akibatnya, penilaian yang diberikan bisa jadi tidak akurat tidak mencerminkan perilaku dan kinerja yang sebenarnya. Menimbang kontraversi-kontraversi diatas dapat dikatakan bahwa penilaian 360 derajat tidak selalu cocok(compatible) pada seluruh organisasi. Kita sebagai pemilik perusahaan yang beranggapan bahwa penilaian 360 derajat lebih fair dan objektif, secara tidak langsung hanya membuat kita kelelahan tanpa bisa meyakini apakah kita memenangi pertandingan atau tidak.

Kini timbul pertanyaan, jika mengingat point-point diatas, apakah metode penilaian 360 derajat cocok diberlakukan di Indonesia ? padahal dari point diatas jelas bahwa bagi perusahaan efek 360 derajat “Tidak terasa”. Berdasarkan alasan-alasan yang sudah disebutkan sebelumnya, lebih baik perusahaan menggunakan metode penilaian lainnya yang lebih cocok diterapkan di Indonesia seperti dengan Teknik Essay, Critical Incident, BARS, BOS, Forced Choice Scales, Forced Distribution, dan Point Allocation Method................(Mas Abu-JPP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar