Senin, 03 April 2017

Bekerja diluar jam Normal dibayar LUMPSUM, bolehkah ?

Tanya :

Jika saya bekerja diluar jam normal kemudian oleh prusahaan di bayar secara LUMPSUM, bisakah ?

Jawab :
- Kalau kita bekerja sdh melebihi waktu jam kerja yg sudah ditetapkan Depnaker(8 jam/hari) itu sudah dinamakan over time jadi SEBENARNYA harus dibayar, tetapi apabila ada ketentuan dalam perusahaan anda bahwa untuk dinas luar dibayarkan diawal dalam bentuk Allowence/tunjangan ya tidak dibayar lagi/tidak dihitung lembur.Jadi hal itu  dikembalikan ke Peraturan Perusahaan masing-masing.
Yang terpenting karyawan bersangkutan mengetahui aturan-aturan tersebut.
 
- Overtime bagi yg berhak upah lembur (kerja dikantor seperti biasa/bukan dinas) tidak bisa dikategorikan allowance yg konotasinya lumpsum. Hati-hati dalam case ini, meskipun karyawannya oke-oke saja. Apalagi sampai dicantumkan dalam Peraturan Perusahaan, potensi dibawa ke perselisihan hak.
 
Yang dimaksud LUMPSUM adalah flat/tetap, sedangkan upah kerja lembur perhitunganya berdasar rate/tidak flat antara satu jam ke jam berikutnya. Selain itu, upah lembur sebagai komponen upah, bukan allowance/tunjangan. Sehingga apabila ada pekerja yg berhak upah lembur dibayar secara flat (lumpsum) adalah tidak benar karena sekali lagi upah lembur formulanya tidak flat.
 

Minggu, 05 Maret 2017

System Pembayaran di Indonesia

Sistem Pembayaran di Indonesia

:: Apa Itu Sistem Pembayaran (SP)?
Apa itu SP? SP adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Lantas, apa saja komponen dari SP? Sudah barang tentu harus ada alat pembayaran, ada mekanisme kliring hingga penyelesaian akhir (settlement). Nah, selain itu juga ada komponen lain seperti lembaga yang terlibat dalam menyelenggarakan sistem pembayaran. Termasuk dalam hal ini adalah bank, lembaga keuangan selain bank, lembaga bukan bank penyelenggara transfer dana, perusahaan switching bahkan hingga bank sentral (lihat Perkembangan). 

:: Evolusi Alat Pembayaran
Alat pembayaran boleh dibilang berkembang sangat pesat dan maju. Kalau kita menengok kebelakang yakni awal mula alat pembayaran itu dikenal, sistem barter antarbarang yang diperjualbelikan adalah kelaziman di era pra moderen. Dalam perkembangannya, mulai dikenal satuan tertentu yang memiliki nilai pembayaran yang lebih dikenal dengan uang.  Hingga saat ini uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya alat pembayaran terus berkembang dari alat pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran nontunai (non cash) seperti alat pembayaran berbasis kertas (paper based), misalnya, cek dan bilyet giro. Selain itu dikenal juga alat pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai kartu (card-based) (ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan Kartu Prabayar).

:: Alat Pembayaran Tunai 
Alat pembayaran tunai lebih banyak memakai uang kartal (uang kertas dan logam). Uang kartal masih memainkan peran penting khususnya untuk transaksi bernilai kecil. Dalam masyarakat moderen seperti sekarang ini, pemakaian alat pembayaran tunai seperti uang kartal memang cenderung lebih kecil dibanding uang giral. Pada tahun 2005, perbandingan uang kartal terhadap jumlah uang beredar sebesar 43,3 persen.
Namun patut diketahui bahwa pemakaian uang kartal memiliki kendala dalam hal efisiensi. Hal itu bisa terjadi karena biaya pengadaan dan pengelolaan (cash handling) terbilang mahal. Hal itu belum lagi memperhitungkan inefisiensi dalam waktu pembayaran. Misalnya, ketika Anda menunggu melakukan pembayaran di loket pembayaran yang relatif memakan waktu cukup lama karena antrian yang panjang. Sementara itu, bila melakukan transaksi dalam jumlah besar juga mengundang risiko seperti pencurian, perampokan dan pemalsuan uang.
Menyadari ketidak-nyamanan dan inefisien memakai uang kartal, BI berinisiatif dan akan terus mendorong untuk membangun masyarakat yang terbiasa memakai alat pembayaran nontunai atau Less Cash Society (LCS). 

:: Alat Pembayaran Nontunai
Alat pembayaran nontunai sudah berkembang dan semakin lazim dipakai masyarakat. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita bahwa jasa pembayaran nontunai yang dilakukan bank maupun lembaga selain bank (LSB), baik dalam proses pengiriman dana, penyelenggara kliring maupun sistem penyelesaian akhir (settlement) sudah tersedia dan dapat berlangsung di Indonesia. Transaksi pembayaran nontunai dengan nilai besar diselenggarakan Bank Indonesia melalui sistem BI-RTGS (Real Time Gross Settlement) dan Sistem Kliring. Sebagai informasi, sistem BI-RTGS adalah muara seluruh penyelesaian transaksi keuangan di Indonesia.
Bisa dibayangkan, hampir 95 persen transaksi keuangan nasional bernilai besar dan bersifat mendesak (urgent) seperti transaksi di Pasar Uang AntarBank (PUAB), transaksi di bursa saham, transaksi pemerintah, transaksi valuta asing (valas) serta settlement hasil kliring dilakukan melalui sistem BI-RTGS. Pada tahun 2010, BI-RTGS melakukan transaksi sedikitnya Rp174,3 triliun per hari. Sedangkan transaksi nontunai dengan alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) dan uang elektronik masing-masing nilai transaksinya hanya Rp8,8 triliun per hari yang dilakukan bank atau LSB.  
Melihat pentingnya peran BI-RTGS dalam sistem pembayaran nasional, sudah barang tentu harus dijaga kontinuitas dan stabilitasnya. Bila sesaat saja sistem BI-RTGS ini ngadat atau mengalami gangguan jelas akan sangat menganggu kelancaran dan stabilitas sistem keuangan di dalam negeri. Hal itu belum memperhitungkan dampak material dan nonmaterial dari macetnya sistem BI-RTGS tadi. Untuk itulah BI sangat peduli menjaga stabilitas BI-RTGS yang dikategorikan sebagai Systemically Important Payment System (SIPS). SIPS  adalah sistem yang memproses transaksi pembayaran bernilai besar dan bersifat mendesak (urgent).Adalah wajar saja apabila Bank Indonesia sangat peduli menjaga kestabilan SIPS dengan mengelola risiko, desain, kehandalan teknologi, jaringan pendukung dan aturan main dalam SIPS. Selain SIPS dikenal pula System Wide Important Payment System (SWIPS), yaitu sistem yang digunakan oleh masyarakat luas. Sistem Kliring dan APMK termasuk dalam kategori SWIPS ini. BI  juga peduli dengan SWIPS karena sifat sistem yang digunakan secara luas oleh masyarakat. Apabila  terjadi gangguan maka kepentingan masyarakat untuk melakukan pembayaran akan terganggu pula, termasuk kepercayaan terhadap sistem dan alat-alat pembayaran yang diproses dalam sistem.
Perlu diketahui bahwa BI bukan semata peduli akan terciptanya efisiensi dalam sistem pembayaran, tapi juga kesetaraan akses hingga ke urusan perlindungan konsumen. Yang dimaksud terciptanya sistem pembayaran, itu artinya memberi kemudahan bagi pengguna untuk memilih metode pembayaran yang dapat diakses ke seluruh wilayah dengan biaya serendah mungkin. Sementara yang dimaksud dengan kesetaraan akses, BI akan memperhatikan penerapan asas kesetaraan dalam penyelenggaraan sistem pembayaran. Sedangkan aspek perlindungan konsumen dimaksudkan penyelenggara wajib mengadopsi asas-asas perlindungan konsumen secara wajar dalam penyelenggaraan sistemnya. (***)

Kamis, 16 Februari 2017

Tunjangan Makan & Transport, Tunjangan TETAP atau TIDAK TETAP ?

Tanya :

Jika disebuah perusahaan menerapkan kebijakan demikian, untuk memenuhi UMK 2013, uang makan dan transport dimasukkan ke dalam tunjangan tetap. Padahal secara undang-undang, uang makan dan transport termasuk kategori tunjangan tidak tetap? Bagaimana keabsahan kebijakan tsb ?.
Jawaban :
By.Letiza Tobing, SH,MKn
        Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, komponen upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Dalam Pasal 94 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), memang hanya dikatakan mengenai upah pokok dan tunjangan tetap, akan tetapi sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Persentase Minimal Upah Pokok, apabila terdapat tunjangan tetap yang merupakan pembayaran kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu, maka dapat diartikan secara a contrario terdapat tunjangan tidak tetap.
 
Hal tersebut juga ditegaskan lagi dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah yang mengatakan bahwa komponen upah adalah sebagai berikut:
a.    Upah Pokok; adalah imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
b.    Tunjangan Tetap; adalah suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Isteri; Tunjangan Anak; Tunjangan Perumahan; Tunjangan Kematian; Tunjangan Daerah dan lain-lain. Tunjangan Makan dan Tunjangan Transport dapat dimasukan dalam komponen tunjangan tetap apabila pemberian tunjangan tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran, dan diterima secara tetap oleh pekerja menurut satuan waktu, harian atau bulanan.
c.    Tunjangan Tidak Tetap; adalah suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerja, yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Transport yang didasarkan pada kehadiran, Tunjangan makan dapat dimasukan ke dalam tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut diberikan atas dasar kehadiran (pemberian tunjangan bisa dalam bentuk uang atau fasilitas makan).
 
Berdasarkan pengelompokan di atas, terlihat bahwa sebenarnya tidak ada pengelompokan yang mengikat mengenai tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Dari peraturan di atas dapat kita lihat bahwa apabila tunjangan makan dan transportasi (transport) tersebut diberikan tanpa melihat pada kehadiran buruh/pekerja tersebut (besarnya tetap dan tidak bergantung pada kehadiran), maka tunjangan makan dan transport tersebut memang dapat dijadikan tunjangan tetap.
 
Selain itu, tidak ada pengaruhnya apabila tunjangan makan dan transport tersebut masuk ke dalam tunjangan tetap atau tunjangan tidak tetap, karena keduanya memang komponen dari upah. Yang paling penting adalah upah pokok besarnya tidak kurang dari 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan-tunjangan (Pasal 94 UU Ketenagakerjaan).
 
Apabila upah pokok kurang dari 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan-tunjangan, pada dasarnya tidak ada sanksi pidana maupun administrasi atas pelanggaran Pasal 94 UU Ketenagakerjaan tersebut.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
2.    Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah.

Rabu, 04 Januari 2017

Dampak SPIN OFF bagi Pekerja....


      SPIN OFF memang terbilang istilah yang baru dalam dunia usaha, sehingga wajar saja kalau banyak karyawan menjadi “resah” ketika mendengar bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan melakukan program Spin Off.hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan karyawan terhadap ketentuan-ketentuan spin off. pun demikian telah banyak perusahaan (perseroan) yang berhasil dengan baik menjalankan program Spin Off tersebut, sehingga diperkirakan tren “pemisahan” atau spin off ini akan meningkat dimasa yang akan datang. Ambil contoh keberhasilan tersebut adalah YPK dan RS.PKT yang sekarang masing masing menjadi entitas sendiri. Bagi RS PKT (KMU), Spin Off atau pemisahan adalah disyaratkan oleh UU Kerumahsakitan.
Sebelum diundangkannya Undang-undang rumah sakit, banyak rumah sakit swasta yang merupakan unit usaha dari suatu perusahaan (PT) yang tidak secara khusus memiliki lingkup kegiatan di bidang rumah sakit. Misalnya, perusahaan BUMN yang memiliki beberapa rumah sakit yang dikelola secara profit sebagai unit usaha perusahaan BUMN tersebut. Salah satu contoh adalah Pupuk Kaltim yang core bisnisnya adalah Produsen Pupuk, tetapi memiliki usaha dibidang kesehatan yaitu RS.PKT.

Dengan diundangkannya Undang-undang rumah sakit, maka rumah sakit-rumah sakit demikian harus melakukan penyesuaian dengan membentuk badan hukum tersendiri, terpisah dari perusahaan induknya. Secara bahasa praktek aksi korporasi inilah yang disebut sebagai spin off.

Spin Off sebagaimana dijelaskan dalam UU Perseroan Terbatas No. adalah sebagai “pemisahan aktiva………...

Bagaimana  hubungan ketenagakerjaan ?.

Secara normative, Undang-undang ketenagakerjaan tidak menyinggung perubahan hubungan ketenagakerjaan yang diakibatkan oleh spin off ini mengingat spin off merupakan sesuatu yang relative baru. Namun secara prinsip dapat diambil dari ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas. Walaupun harus diakui, undang-undang Perseroan Terbatas juga tidak memberikan penjelasan yang memadai berkaitan dengan spin off ini.

Prinsip tersebut adalah bahwa spin off tersebut dilakukan dengan memperhatikan kepentingan karyawan (pekerja). Frase memperhatikan kepentingan pekerja” ini merujuk bahwa program spin off tidak boleh merugikan kepentingan pekerja, baik yang menyangkut hak-hak normative serta hak-hak ketenagakerjaan yang lain.

Apa saja dampak spin off terhadap aspek ketenagakerjaan, :
a.Status ketenagakerjaan
    Hubungan ketenagakerjaan tidak lagi terjalin antara pekerja dengan perusahaan induk, melainkan antara pekerja dengan Badan Hukum hasil spin off. Dalam hal ini Badan Hukum hasil spin off bertindak sebagai pemberi kerja.

Terhadap pekerja kontrak (kalau ada) harus dilakukan pembaruan kontrak kerja yakni antara pekerja yang bersangkutan dengan Badan Hukum baru hasil spin off;

b.Perhitungan masa kerja
    Masa kerja diperhitungkan sejak pertama kali pekerja tercatat sebagai pekerja perusahaan induk.bukan saat dimulainya spin off, kecuali pekerja yang baru direkrut setelah dilakukannya spin off;

c.Peraturan perusahaan
    Dilakukannya spin off, secara hukum Badan Hukum hasil spin off merupakan entitas hukum baru yang sama sekali terpisah dengan perusahaan induk. Dengan demikian Badan Hukum baru hasil spin off wajib membuat peraturan perusahaan baru yang disusun dengan mengacu pada ketentuan UU Ketenagakerjaan dan UU Perseroan Terbatas.

d.PerjanjianKerja
    Dilakukannya spin off, secara hukum Badan Hukum hasil spin off merupakan entitas hukum baru yang sama sekali terpisah dengan perusahaan induk. Dengan demikian Badan Hukum baru hasil spin off wajib membuat perjanjian kerja baru terhadap pekerja yang akan direkrut yang disusun dengan mengacu pada ketentuan UU Ketenagakerjaan dan UU Perseroan Terbatas.

e.Perjanjian Kerja Bersama
    Dilakukannya spin off, secara hukum Badan Hukum hasil spin off merupakan entitas hukum baru yang sama sekali terpisah dengan perusahaan induk. Dengan demikian Badan Hukum baru hasil spin off wajib membuat perjanjian kerja bersama baru yang disusun dengan mengacu ketentuan UU Ketenagakerjaan dan UU Perseroan Terbatas.

f.Kesejahteraan karyawan
   Bahwa perbuatan hukum spin off  yang dilakukan harus memperhatikan kepentingan pekerja, sehingga sedapat mungkin spin off tersebut tidak mengakibatkan penurunan upah, kesejahteraan dan perlindungan sebagaimana yang mereka terima di perusahaan induk.

Dalam hal badan hukum hasil spin off menyatakan tidak mampu untuk memenuhi standar upah, kesejahteraan dan perlindungan, maka dapat dilakukan negosiasi dengan pihak karyawan untuk mencapai kesepakatan;

g.Serikat kerja
   Sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan, membentuk dan menjadi anggota suatu serikat pekerja merupakan hak pekerja. Namun demikian, serikat pekerja yang tercatat sebagai serikat pekerja di perusahaan induk (jika ada) tidak dapat melaksanakan kegiatan di lingkungan badan hukum hasil spin off, melainkan harus membentuk suatu serikat pekerja baru yang tercatat secara resmi di Dinas Ketenagakerjaan, sebagai serikat pekerja di badan hukum hasil spin off; ………………………………………………………………………………(Abu & Saiful.A)

Senin, 02 Januari 2017

SPIN OFF & Status Karyawan


Tanya :

1.Bagaimanakah Status Karyawan Perusahaan yang  akan melakukan "Spin Off" atau memisahkan diri dari induk perusahaannya (holding)?

2.Bagaimana proses prosedur peralihan status karyawan tersebut? Apakah harus melalui Menaker ataukah harus melalui pengumuman kemudian diputus sementara kemudian diangkat menjadi karyawan kembali?

3.Bagaimana dengan Tenaga Kerja Asing (TKA), jabatan apa saja yang diperbolehkan menempati posisi/jabatan di suatu perusahaan? Dalam UU No. 13/2003 dikatakan hal ini diatur dalam keputusan menteri, apakah Kepmen tersebut telah ada? Terima kasih atas penjelasannya.


Jawaban :
1.   Spin off adalah merupakan salah satu cara “pemisahan” usaha  pada Perseroan Terbatas atau PT di samping split off (pemecahan). Dalam perspektif UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), pemisahan - spin off atau split off - adalah merupakan salah satu bentuk perubahan status perusahaan sebagaimana dimaksud pasal 163 UU Ketenagakerjaan.

Spin off (atau yang sering disebut pemisahan tidak murni) merupakan pemisahan – unit - usaha yang mengakibatkan sebagian aktiva dan passiva suatu perseroan terbatas (perseroan) beralih karena hukum kepada satu perseroan atau lebih, di mana perseroan yang melakukan pemisahan tersebut masih tetap ada/eksis (pasal 135 ayat [1] dan ayat [3] jo. pasal 1 angka 12 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

Sebagaimana disebutkan, bahwa pada kasus spin off, sebagian aktiva dan passiva suatu perseroan beralih karena hukum kepada suatu perseroan baru (perseroan yang memisahkan diri), maka demikian itu, entity dan pemegang saham (owners) pada perseroan yang melakukan pemisahantersebut adalah juga menjadi entity dan owners di perseroan – baru - yang memisahkan diri. Dengan demikian, hubungan hukum di perseroan yang memisahkan diri merupakan lanjutan dari perseroan yang melakukan pemisahan. Demikian juga, hubungan kerja para karyawan di perseroan yang memisahkan diri adalah lanjutan dari hubungan kerja pada perseroan yang melakukan pemisahan. Artinya, hubungan kerja karyawan di perseroan yang melakukan pemisahan berlanjut di perseroan yang memisahkan diri.

Terkait dengan spin off sebagai salah satu bentuk perubahan status perusahaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 163 UU Ketenagakerjaan, pengusaha (cq.perseroan – baru - yang memisahkan diri) hanya dapat melakukan PHK apabila terjadi restrukturisasi organisasi dan dilakukan perampingan (down sizing) dan/atau reposisi serta mutasi yang mengakibatkan – antara lain - efisiensi sumberdaya manusia (cut off), atau karena adanya penyesuaian kualifikasi dan/atau kompetensi kerja para karyawan sesuai dengan formasi dan kebutuhan management perusahaan.

Sebaliknya, pekerja/buruh (karyawan) hanya dapat menyatakan untuk tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, bilamana dalam restrukturisasi dilakukan reposisi, mutasi atau demosi yang mengakibatkan terjadinya perubahan Perjanjian Kerja (PK) dan/atau syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban di perseroan – baru - yang memisahkan diri. Apabila (pada spin off) tidak terjadi restrukturisasi, tidak ada reposisi/mutasi atau demosi dan tidak ada perubahan PK dan/atau syarat-syarat kerja, namun karyawan – tetap - menyatakan tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja (dengan alasan spin off tersebut), maka karyawan yang bersangkutan dianggap sebagai mengundurkan diri secara sukarela sebagaimana dimaksud pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. 

2.   Walaupun pada spin off terjadi peralihan karena hukum tanpa akta pearalihan, namun demikian – perlu - dilakukan amandement atau addendum perjanjian kerja (PK), terutama pada komparan pihak pengusaha (employer). Demikian juga jika ada perubahan content PK, maka juga perlu dilakukan penyesuaian syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban serta tata tertib di perseroan yang memisahkan diri secara internal.

Dengan demikian prosedur peralihan status karyawan pada spin off, tidak perlu melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, akan tetapi cukup dengan menyampaikan laporan ketenagakerjaan (Wajib Lapor Ketenagakerjaan) pada waktu yang ditentukan. Selanjutnya, agar dapat diketahui oleh seluruh karyawan, terutama karyawan di perseroan yang memisahkan diri perlu dilakukan pengumuman mengenai terjadinya perubahan status (spin off) dimaksud.

3.   Ketentuan penggunaan tenaga kerja asing (expatriate) di Indonesia – antara lain - diatur dalam pasal 42 ayat (1) dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan, bahwa setiap pemberi kerja (perusahaan) yang mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) wajib memiliki IMTA (Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing). Artinya, yang diberi izin bukan orang asingnya (expatriate-nya) akan tetapi perusahaan atau entity-nya. Selain itu diatur bahwa, terhadap ekspatriat hanya boleh dipekerjakan di Indonesia dalam hubungan kerja, untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Dengan demikian, TKA tidak boleh bekerja sebagai pekerja mandiri (vrije beroepen).

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan TKA di Indonesia, selain diatur dalam UU Ketenagakerjaan juga diatur – antara lain - dalam Keppres No. 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dan Permenakertrans No. Per-02/Men/II/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing dan beberapa peraturan terkait lainnya.

Demikian , semoga dapat bermanfaat.

Dasar Hukum:
1.   Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tenatang Ketenagakerjaan;
2.   Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tenatang Perseroan Terbatas;
3.   Keputusan Presiden No.75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang.
4.   Peraturan Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Per-02/Men/II/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
……………………………………………………………………………….By. Umar Kasim/Konsultan Hukum

SPIN OFF


       SPIN OFF menjadi issue (bukan isyu) yang santer dibicarakan akhir akhir ini, baik dikalangan managemen maupun karyawan-karyawan tingkat pelaksana. Hal ini tak lepas dari adanya wacana direksi, pemegang saham dan Holding yang merencanakan program Spin Off Jasa Pelayanan Pabrik (JPP). Sebenarnya wacana Spin Off JPP tak serta merta dicetuskan dalam waktu yang singkat dan mendadak. Bahkan UU Perseroan Terbatas tahun 2007 sudah mengatur pula tata cara dan ketentuan ketentuan Spin Off. Sehingga wajar saja kalau Program Spin Off sudah dicanangkan jauh sebelum tahun 2016, meskipun yang santer baru di tahun 2015-2016.
       
Dengan semakin berkembangnya dunia bisnis sekarang ini, kegiatan usaha suatu Perseroan Terbatas (“Perseroan”) juga semakin berkembang. Banyak Perseroan yang memperluas kegiatan bidang usahanya untuk mengimbangi perkembangan bisnis yang terjadi, sehingga pemisahan beberapa usaha dalam satu Perseroan merupakan alternatif yang dapat dilakukan oleh Perseroan untuk melakukan efisiensi usaha dan menekan ongkos operasi disamping untuk mengejar laba yang lebih maksimal. “Pemisahan” memungkinkan suatu Perseroan untuk melakukan pemisahkan satu atau beberapa kegiatan usaha ke dalam Perseroan (lain) yang menerima pemisahan tersebut. Dengan melakukan pemisahan tersebut tujuannya agar suatu Perseroan dapat lebih memfokuskan diri pada usaha intinya (core business) dan juga dapat mengurangi risiko usaha pada Perseroan akibat meluasnya kegiatan usaha yang dilakukan oleh Perseroan yang bersangkutan.

Arti Kata SPIN OFF

      Secara umum Spin off adalah Organisasi, objek atau entitas baru yang merupakan hasil pemisahan atau pemecahan dari bentuk yang lebih besar, seperti acara televisi yang dibuat berdasarkan acara lain yang telah ada, atau perusahaan baru yang didirikan sekelompok peneliti dari sebuah universitas, dll. Kata lain yang sama makna dengan spin off adalah sekuel, subseri dll.

Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (“UU PT”) mendefinisikan Pemisahan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih.
UU PT membedakan Pemisahan kedalam 2 (dua) jenis pemisahan yaitu :

1.     Pemisahan murni
2.     Pemisahan tidak murni. 

Pemisahan murni adalah Pemisahan yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum.
Pemisahan tidak murni atau spin off  adalah Pemisahan yang mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tetap ada.
Persamaan dari kedua Pemisahan ini adalah adanya peralihan karena hukum atas aktiva dan pasiva dari Perseroan yang melakukan pemisahan. Sedangkan perbedaannya terletak pada eksistensi Perseroan yang melakukan Pemisahan setelah pemisahan tersebut dilakukan. Pada Pemisahan murni, Perseroan yang melakukan pemisahan berakhir karena hukum, sedangkan pada Pemisahan tidak murni, Perseroan yang melakukan Pemisahan tidak berakhir, akan tetapi Perseroan tersebut hanya memfokuskan dirinya pada bisnis utama saja.
    
    Yang perlu ditekankan adalah bahwa Suatu Perseroan apabila akan melakukan Pemisahan (baik pemisahan murni ataupun spin off) harus memperhatikan kepentingan Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan, kreditor dan mitra usaha lainnya, serta masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. Pemisahan tidak dapat dilakukan apabila akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu.
  Disyaratkan pula bahwa Direksi Perseroan yang akan melakukan Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS’). Pengumuman ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada kreditor atau pihak-pihak lain yang merasa keberatan akan rencana Pemisahan agar dapat mengajukan keberatannya. Kreditor atau pihak yang merasa keberatan dapat mengajukan keberatan atas rencana Pemisahan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman. Apabila dalam jangka waktu tersebut ternyata Kreditor tidak mengajukan keberatan, maka kreditor dianggap menyetujui Pemisahan.

Keputusan untuk melakukan Pemisahan harus didasarkan pada keputusan RUPS untuk menyetujui Pemisahan Perseroan yang hanya dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS, dan keputusan RUPS adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit  ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Selanjutnya, rancangan pemisahan yang telah disetujui RUPS dituangkan ke dalam Akta Pemisahan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia....................................( Abu )