Jumat, 25 November 2016

Methode Pencatatan Bahan Baku / Spare Part

  • METODE PENCATATAN BIAYA BAHAN BAKU / SPARE PART
Ada dua macam metode pencatatan biaya bahan baku/Spare Part yang dipakai dalam produksi : metode mutasi persediaan (perpetual inventory method) dan metode persediaan fisik (physical inventory method). Dalam metode mutasi persediaan, setiap mutasi bahab baku dicatat dalam kartu persediaan. Dalam metode persediaan fisik, hanya tambahan persediaan bahan baku dari pembelian saja yang dicatat dalam kartu persediaan.
Metode persediaan fisik adalah cocok digunakan dalam penentuan biaya bahan baku dalam perusahaan yang harga pokok produksinya dikumpulkan dengan metode harga pokok proses. Metode mutasi persediaan adalah cocok digunakan dalam perusahaan yang harga pokok produksinya dikumpulkan dengan metode harga pokok pesanan.

Metode Identifikasi Khusus (Specifik Identification Method).

Dalam metode ini, setiap jenis bahan baku yang adfa di gudang harus diberi tanda pada harga pokok persatuan berapa bahan baku tersebut dibeli. Setiap pembelian bahan baku yang harga persatuannya berbeda dengan harga per satuan harga bahan baku yang sudah ada di gudang, harus dipisahkan penyimpanannya dan diberi tanda pada harga berapa bahan tersebut dibeli. Dalm metode ini, tiap-tiap jenis bahan baku yang ada di gudang jelas identitas harga pokoknya, sehingga setiap pemakaian bahan baku dapat diketahui harga pokok per satuannya secara tepat.

Metode Masuk Pertama, Keluar Pertama (Firs-in, Firs-out Method).

Metode masuk pertama, keluar pertama (metode MPKP) menentukan biaya bahan baku dengan anggapan bahwa harga pokok per satuan bahan baku yang pertama masuk dalam gudang, digunakan untuk menentukan harga bahan baku yang pertama kali dipakai. Perlu ditekankan di sini bahwa untuk menentukan biaya bahan baku, anggapan aliran biaya tida harus sesuai dengan aliran fisik bahan baku dalam produksi.

Metode Masuk Terakhir, Keluar Pertama (Last-in, Firs-out Method).

Metode masuk terakhir, keluar pertama (metode MTKP) menentukan harga pokok bahan baku yang dipakai dalam produksi dengan anggapan bahwa harga pokok per satuan bahan baku yang terakhir masuk dalam persediaan gudang, dipakai untuk menentukan harga pokok bahan baku yang pertama kali dipakai dalam produksi.



Metode Rata-Rata Bergerak (Moving Average Method).

Dalam metode ini, persediaan bahan baku yang ada di gudang dihitung harga pokok rata-ratanya, dengan cara membagi total harga pokok dengan jumlah satuannya. Setiap kali terjadi pembelian yang harga pokok per satuannya berbeda dengan harga pokok rata-rata persediaan yang ada di gudang, harus dilakukan perhitungan harga pokok rata-rata per satuan yang baru. Bahan baku yang di pakai dalam proses produksi dihitung harga pokoknya dengan mengalikan jumlah satuan bahan baku yang dipakai dengan harga pokok rata-rata per satuan harga bahan baku yang ada di gudang. Metode ini disebut pula denan metode rata-rata tertimbang, karena dalam menghitung rata-rata harga pokok persediaan bahan baku, metode ini menggunakan kuantitas bahan baku sebagai angka penimbangnya.


Metode Biaya Standart.

Dalam metode ini bahan baku yang dibeli dicatat dalam kartu persediaan sebesar harga stadart (stadart price) yaitu harga taksiran yang mencerminkan harga yang diharapkan akan terjadi di masa yang akan datang. Harga standart merupakan harga yang diperkirakan untuk tahun anggaran tertentu. Pada saat dipakai, bahan baku dibebankan kepada produk pada harga standart tersebut.

Metode Rata-Rata Harga Pokok Bahan Baku pada Akhir Bulan.

Dalam metode ini, pada tiap akhir bulan dilakukan perhitungan harga pokok rata-rata per satuan tiap jenis persediaan bahan baku yang ada di gudang. Harga pokok rata-rata per satuan ini kemudian digunakan untuk menghitung harga pokok bahan baku yang dipakai dalam produksi dalam bulan berikutnya.


  • MASALAH-MASALAH KHUSUS YANG BERHUBUNGAN DENGAN BAHAN BAKU
Dalam bagian ini diuraikan akuntansi biaya bahan baku, jika dalam proses produksi terjadi sisa bahan (scrap materials), produk cacat (defective goods), dan produk rusak (spailed goods).
  1. 1. SISA BAHAN (SCRAP MATERIALS)
Di dalam proses produksi, tidak semua bahan baku dapat menjadi bagian produk jadi. Bahan yang mengalami kerusakan di dalam proses pengerjaannya disebut sisa bahan.
Jika di dalam proses produksi mengalami proses produksi terdapat sisa bahan, masalah yang timbul adalah bagaimana mamperlakukan hasil penjualan sisa bahan tersebut. Hasil penjualan sisa bahan dapat diperlakukan sebagai :
1.Pengurang biaya bahan baku yang dipakai dalam pesanan yang menghasilkan sisa bahan tersebut.
2.Pengurang terhadap biaya overhead pabrik yang sesungguhnya terjadi
3.Penghasilan di luar usaha (other income)
Pencatatan sisa bahan : Jika jumlah dan nilai sisa bahan relative tinggi, maka diperlukan pengawasan terhadap persediaan sisa bahan. Pemegang kartu persediaan di Bagian Akuntansi perlu mencatat mutasi persediaan sisa bahan yang ada di gudang.
  1. 2. PRODUK RUSAK (SPOILED GOODS)
Produk rusak adalah produk yang tidak memenuhi standart mutu yang vtelah ditetapkan, yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki menjadi produk yang baik. Produk rusak berbeda dengan sisa bahan karena sisa bahan merupakan bahan yang mengalami kerusakan dalam proses produksi, sehingga belum sempat menjadi produk, sedangkan produk rusak merupakan produk yang telah menyerap biaya bahan, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik.

  1. 3. PRODUK CACAT (DEFECTIVE GOODS)
Produk cacat adalah produk yang tidak memenuhi standart mutu yang telah ditentukan, tetapi dengan mengeluarkan biaya pengerjaan kembali untuk memperbaikinya, produk tersebut secara ekonomis dapat disempurnakan lagi menjadi produk yang lebih baik.
Masalah yang timbul dalam produk cacat adalah bagaimana memperlakukan biaya tambahan untuk mengerjakan kembali (rework cost) produk cacat tersebut. Perlakuan terhadap pengerjaan kembali produk cacat adalah mirip dengan yang telah dibicarakan dalam produk rusak(spoiled goods).
Jika produk cacat bukan merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses produksi, tetapi karena karakteristik pengerjaan pesanan tertentu, maka biaya pengerjaan kembali produk cacat dapat dibebankan sebagai tambahan biaya produksi pesanan yang bersangkutan.
Jika produk cacat merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses pengerjaan produk, maka baiaya pengerjaan kembali dapat dibebankan kepada seluruh produksi dengan cara memperhitungkan biaya pengerjaan kembali tersebut ke dalam tariff biaya overhead pabrik. Biaya pengerjaan kembali produk cacat yang sesungguhnya terjadi di debitkan dalam rekening biaya overhead pabrik sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar