Jumat, 25 November 2016

Cara Menghitung Biaya Pemakaian LISTRIK mesin Produksi

         Di dalam Industri Manufaktur, peralatan yang paling banyak dipakai dalam produksi adalah peralatan yang menggunakan daya listrik sebagai energi atau tenaga untuk dapat mengerakkan peralatan tersebut. Peralatan-peralatan Listrik tersebut antara lain : Soldering Iron, Electric Screw Driver (Obeng Listrik), Mesin Solder, Mesin Bonding, Ionizer, Komputer, Air Conditioner (AC), Kompresor Angin dan Alat-alat uji dan pengukuran seperti  Osciloscope, Voltmeter, Signal Generator dan  Audio Analyzer.

Biaya Listrik merupakan salah satu biaya operasional produksi yang tertinggi setelah biaya Tenaga Kerja (Manpower). Pada umumnya, biaya listik yang digolongkan sebagai “Electric Utility Cost” memakan porsi biaya sekitar 7% ~ 10% dari total biaya operasional produksi sehingga sangat penting sekali bagi kita untuk melakukan penghematan dan optimasi pemakaian peralatan listrik tersebut.
Untuk meng-optimasi-kan pemakaian listrik dan penghematan biaya listrik, tentunya kita harus mengetahui seberapa banyak peralatan tersebut meng-konsumsi-kan listriknya yang kemudian akan kita konversikan ke dalam biaya pemakaian listrik. Untuk melakukan perhitungan biaya pemakaian listrik, kita juga harus mengetahui tarif listrik yang telah ditetapkan oleh PLN setempat.

Contoh dan cara menghitung biaya Pemakaian Listrik pada Peralatan Produksi

Berikut ini cara untuk menghitung biaya pemakaian listrik untuk peralatan-peralatan yang sering digunakan dalam produksi.
Saya mengambil contoh sebuah Pabrik yang berskala industri kecil-menengah  di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Karena berlokasi di Batam, maka tarif yang kita gunakan adalah tarif yang ditentukan oleh PLN Kota Batam.  Contohnya di golongan I-1/TR (industri golongan 1 dengan memakai Tegangan Rendah).
TDL listrik Batam
Ada dua Jenis label informasi tentang penggunaan daya listrik pada peralatan produksi tersebut, yaitu adanya penulisan pemakaian Watt dan yang satu jenis lagi hanya tertuliskan Voltage dan Ampere. Berikut ini adalah cara perhitungan untuk kedua jenis label pada peralatan-peralatan listrik :

Adanya Informasi tentang Daya (Wattage) Pemakaian Listrik di Peralatan

Contoh Kasus I
Contoh Peralatan yang ingin dihitung biaya pemakaian listriknya adalah Solder yang bermerek Hakko dengan konsumsi daya sebesar 60W dan Tegangan listrik yang dipakainya adalah 230 Volt (label konsumsi daya listrik, seperti digambar bawah ini).
daya listrik soldering iron
Penyelesaiannya :
Diketahui :
Tarif / kWh          : Rp. 832,-
Konsumsi listrik : 60W (0.06kW)
Biaya Listrik per Jam = tariff/kWh x Wattage
Biaya Listrik per Jam = Rp. 832 x 0.06 kW
Biaya Listrik per Jam = Rp. 49,94/Jam
Jika di Pabrik tersebut memiliki 20 unit Soldering Iron yang dihidupkan selama 24 Jam per hari dalam 24 hari kerja. Maka Biaya pemakaian Listrik dalam sebulan adalah :
Rp. 49,94 x 20 unit x 24 Jam x 24 hari = Rp. 575.308,8 per bulan.

Contoh Kasus II
Di Pabrik yang sama, Mesin yang ingin dihitung biaya pemakaiannya adalah Mesin Solder dengan Konsumsi daya listrik sebesar 33 KiloWatt pada tegangan 380Volt.
Penyelesaiannya :
Diketahui :
Tarif / kWh          : Rp. 832,-
Konsumsi listrik : 33 kW
Biaya Listrik per Jam = tariff/kWh x Wattage
Biaya Listrik per Jam = Rp. 832 x 33kW
Biaya Listrik per Jam = Rp. 27.456/Jam
Jika di Pabrik tersebut memiliki 2 unit Mesin Solder yang dihidupkan selama 24 Jam per hari dalam 24 hari kerja. Maka Biaya pemakaian Listrik Solder Mesin tersebut dalam sebulan adalah :
Rp. 27.546 x 2 unit x 24 Jam x 24 hari = Rp. 31,732,992 per bulan.

Hanya terdapat informasi tentang Voltage (Tegangan) dan Ampere (Arus Listrik) di Peralatannya

Jika di peralatan tersebut tidak tertulis Daya atau Wattage pemakaian Listrik, maka kita dapat melakukan perhitungan Daya atau Wattage-nya berdasarkan Voltage dan Ampere yang tertera di Peralatan tersebut.
daya listrik lcd monitor
Contoh Kasus III
Masih di Pabrik yang sama, Sebuah LCD Monitor hanya tertulis Power Rating AC 100~240 Volt dengan pemakaian Arus Listrik sebanyak 1.5 Ampere. Berapakah Biaya Pemakaian Listrik tersebut ?
Penyelesaiannya
Tarif / kWh          : Rp. 832,-
Tegangan           : 220 Voltage (karena di Indonesia, PLN mengeluarkan tegangan 220V)
Arus Listrik         : 1.5A
Pertama, kita harus hitung Daya (Wattage) pemakaian listriknya terlebih dahulu.
Watt = Volt x Ampere
Watt = 220V x 1.5A
Watt = 330 Watt (0.33kW)
Setelah kita mengetahui Watt-nya, perhitungan selanjutnya sama dengan cara diatas, yaitu :
Biaya Listrik per Jam = tariff/kWh x Wattage
Biaya Listrik per Jam = Rp. 832 x 0.33
Biaya Listrik per Jam = Rp. 274.56/Jam
Jika di Pabrik tersebut memiliki 5 unit LCD Monitor yang dihidupkan selama 10 Jam per hari dalam 24 hari kerja. Maka Biaya pemakaian Listrik untuk LCD Monitor tersebut dalam sebulan adalah :
Rp. 274.56 x 5 unit x 10 Jam x 24 hari = Rp. 329,472 per bulan.

Catatan :
Karena Satuan perhitungan Listrik adalah Kilo Watt Per Jam atau Kilo Watt per Hour (kWh) maka Daya atau Wattage pada peralatan tersebut harus di dijadikan ke Kilo Watt terlebih dahulu (1 Watt = 0.001 kilo Watt).
Keterangan Kategori Ketinggian Tegangan berdasarkan PT. PLN :
  • Tegangan Rendah (TR)         : Tegangan dibawah 1,000 Volt
  • Tegangan Menengah (TM)     : Tegangan 1,000 Volt sampai 35,000 Volt
  • Tegangan Tinggi (TT)              : Tegangan 35,000 sampai 245,000 Volt
  • Tegangan Extra Tinggi (TET) : Tegangan diatas 245,000 Volt
(Masing-masing kategori dikenakan Tarif Dasar yang berbeda-beda)
Cara Perhitungan Pemakaian Listrik di atas dapat juga dipakai untuk pemakai Listrik lainnya seperti perumahan, pertokoan dan Sekolah.

Methode Pencatatan Bahan Baku / Spare Part

  • METODE PENCATATAN BIAYA BAHAN BAKU / SPARE PART
Ada dua macam metode pencatatan biaya bahan baku/Spare Part yang dipakai dalam produksi : metode mutasi persediaan (perpetual inventory method) dan metode persediaan fisik (physical inventory method). Dalam metode mutasi persediaan, setiap mutasi bahab baku dicatat dalam kartu persediaan. Dalam metode persediaan fisik, hanya tambahan persediaan bahan baku dari pembelian saja yang dicatat dalam kartu persediaan.
Metode persediaan fisik adalah cocok digunakan dalam penentuan biaya bahan baku dalam perusahaan yang harga pokok produksinya dikumpulkan dengan metode harga pokok proses. Metode mutasi persediaan adalah cocok digunakan dalam perusahaan yang harga pokok produksinya dikumpulkan dengan metode harga pokok pesanan.

Metode Identifikasi Khusus (Specifik Identification Method).

Dalam metode ini, setiap jenis bahan baku yang adfa di gudang harus diberi tanda pada harga pokok persatuan berapa bahan baku tersebut dibeli. Setiap pembelian bahan baku yang harga persatuannya berbeda dengan harga per satuan harga bahan baku yang sudah ada di gudang, harus dipisahkan penyimpanannya dan diberi tanda pada harga berapa bahan tersebut dibeli. Dalm metode ini, tiap-tiap jenis bahan baku yang ada di gudang jelas identitas harga pokoknya, sehingga setiap pemakaian bahan baku dapat diketahui harga pokok per satuannya secara tepat.

Metode Masuk Pertama, Keluar Pertama (Firs-in, Firs-out Method).

Metode masuk pertama, keluar pertama (metode MPKP) menentukan biaya bahan baku dengan anggapan bahwa harga pokok per satuan bahan baku yang pertama masuk dalam gudang, digunakan untuk menentukan harga bahan baku yang pertama kali dipakai. Perlu ditekankan di sini bahwa untuk menentukan biaya bahan baku, anggapan aliran biaya tida harus sesuai dengan aliran fisik bahan baku dalam produksi.

Metode Masuk Terakhir, Keluar Pertama (Last-in, Firs-out Method).

Metode masuk terakhir, keluar pertama (metode MTKP) menentukan harga pokok bahan baku yang dipakai dalam produksi dengan anggapan bahwa harga pokok per satuan bahan baku yang terakhir masuk dalam persediaan gudang, dipakai untuk menentukan harga pokok bahan baku yang pertama kali dipakai dalam produksi.



Metode Rata-Rata Bergerak (Moving Average Method).

Dalam metode ini, persediaan bahan baku yang ada di gudang dihitung harga pokok rata-ratanya, dengan cara membagi total harga pokok dengan jumlah satuannya. Setiap kali terjadi pembelian yang harga pokok per satuannya berbeda dengan harga pokok rata-rata persediaan yang ada di gudang, harus dilakukan perhitungan harga pokok rata-rata per satuan yang baru. Bahan baku yang di pakai dalam proses produksi dihitung harga pokoknya dengan mengalikan jumlah satuan bahan baku yang dipakai dengan harga pokok rata-rata per satuan harga bahan baku yang ada di gudang. Metode ini disebut pula denan metode rata-rata tertimbang, karena dalam menghitung rata-rata harga pokok persediaan bahan baku, metode ini menggunakan kuantitas bahan baku sebagai angka penimbangnya.


Metode Biaya Standart.

Dalam metode ini bahan baku yang dibeli dicatat dalam kartu persediaan sebesar harga stadart (stadart price) yaitu harga taksiran yang mencerminkan harga yang diharapkan akan terjadi di masa yang akan datang. Harga standart merupakan harga yang diperkirakan untuk tahun anggaran tertentu. Pada saat dipakai, bahan baku dibebankan kepada produk pada harga standart tersebut.

Metode Rata-Rata Harga Pokok Bahan Baku pada Akhir Bulan.

Dalam metode ini, pada tiap akhir bulan dilakukan perhitungan harga pokok rata-rata per satuan tiap jenis persediaan bahan baku yang ada di gudang. Harga pokok rata-rata per satuan ini kemudian digunakan untuk menghitung harga pokok bahan baku yang dipakai dalam produksi dalam bulan berikutnya.


  • MASALAH-MASALAH KHUSUS YANG BERHUBUNGAN DENGAN BAHAN BAKU
Dalam bagian ini diuraikan akuntansi biaya bahan baku, jika dalam proses produksi terjadi sisa bahan (scrap materials), produk cacat (defective goods), dan produk rusak (spailed goods).
  1. 1. SISA BAHAN (SCRAP MATERIALS)
Di dalam proses produksi, tidak semua bahan baku dapat menjadi bagian produk jadi. Bahan yang mengalami kerusakan di dalam proses pengerjaannya disebut sisa bahan.
Jika di dalam proses produksi mengalami proses produksi terdapat sisa bahan, masalah yang timbul adalah bagaimana mamperlakukan hasil penjualan sisa bahan tersebut. Hasil penjualan sisa bahan dapat diperlakukan sebagai :
1.Pengurang biaya bahan baku yang dipakai dalam pesanan yang menghasilkan sisa bahan tersebut.
2.Pengurang terhadap biaya overhead pabrik yang sesungguhnya terjadi
3.Penghasilan di luar usaha (other income)
Pencatatan sisa bahan : Jika jumlah dan nilai sisa bahan relative tinggi, maka diperlukan pengawasan terhadap persediaan sisa bahan. Pemegang kartu persediaan di Bagian Akuntansi perlu mencatat mutasi persediaan sisa bahan yang ada di gudang.
  1. 2. PRODUK RUSAK (SPOILED GOODS)
Produk rusak adalah produk yang tidak memenuhi standart mutu yang vtelah ditetapkan, yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki menjadi produk yang baik. Produk rusak berbeda dengan sisa bahan karena sisa bahan merupakan bahan yang mengalami kerusakan dalam proses produksi, sehingga belum sempat menjadi produk, sedangkan produk rusak merupakan produk yang telah menyerap biaya bahan, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik.

  1. 3. PRODUK CACAT (DEFECTIVE GOODS)
Produk cacat adalah produk yang tidak memenuhi standart mutu yang telah ditentukan, tetapi dengan mengeluarkan biaya pengerjaan kembali untuk memperbaikinya, produk tersebut secara ekonomis dapat disempurnakan lagi menjadi produk yang lebih baik.
Masalah yang timbul dalam produk cacat adalah bagaimana memperlakukan biaya tambahan untuk mengerjakan kembali (rework cost) produk cacat tersebut. Perlakuan terhadap pengerjaan kembali produk cacat adalah mirip dengan yang telah dibicarakan dalam produk rusak(spoiled goods).
Jika produk cacat bukan merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses produksi, tetapi karena karakteristik pengerjaan pesanan tertentu, maka biaya pengerjaan kembali produk cacat dapat dibebankan sebagai tambahan biaya produksi pesanan yang bersangkutan.
Jika produk cacat merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses pengerjaan produk, maka baiaya pengerjaan kembali dapat dibebankan kepada seluruh produksi dengan cara memperhitungkan biaya pengerjaan kembali tersebut ke dalam tariff biaya overhead pabrik. Biaya pengerjaan kembali produk cacat yang sesungguhnya terjadi di debitkan dalam rekening biaya overhead pabrik sesungguhnya.

HPP dan Perlakuan Akuntansi pada Produk Cacat/Rusak

Produk rusak (spoilage) merupakan unit yang tidak dapat diterima sehingga harus dibuang atau dijual dengan nilai yang lebih rendah. Produk cacat (rework) adalah unit yang perlu diperbaiki secara ekonomi, sehingga produk tersebut dapat dijual melalui saluran reguler. Sisa Bahan (Scrap) merupakan bagian dari produk yang tidak memiliki nilai atau jika memiliki, nilainya sangat kecil.

1. Produk Rusak     Ada dua jenis produk rusak : produk rusak normal dan produk rusak tidak normal. Produk rusak normal terjadi dalam kondisi operasi yang efisien dan tidak dapat dikendalikan dalam jangka pendek dan diperhitungkan sebagai bagian dari biaya produk. Sedangkan produk rusak tidak normal menyebabkan kerugian melebihi atau di atas perkiraan dalam kondisi operasi yang efisien dan dibebankan sebagai kerugian dalam periode berjalan. 

Biasanya produk rusak ditemukan pada akhir proses dengan demikian ia telah menyerap biaya produksi sehingga harus dimasukkan dalam perhitungan unit ekuivalen.

2. Produk Cacat     Sebagaimana diketahui, produk cacat  adalah produk yang tidak sesuai standar dan masih dapat diperbaiki. Maka membutuhkan biaya perbaikan., dapat berupa biaya bahan baku, tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik. Persoalannya adalah perlakuan atas biaya perbaikan tersebut.Produk cacat dapat bersifat normal ataupun tidak normal.  Perlakuan atas biaya tambahan adalah sebagai  berikut :
-   Jika cacat normal          : biaya perbaikan  akan menambah biaya produksi.
- Jika cacat tidak normal : biaya perbaikan diperlakukan sebagai rugi produk cacat.
   Tidak dimasukkan ke dalam biaya produksi, Biaya produksi tidak bertambah.
         Produk cacat masuk dalam perhitungan unit ekuivalen.
PENGARUH LINGKUNGAN MANUFAKTUR BARU

Sistem Just In Time

Tiga pengaruh utama sistem JIT pada metode biaya proses :
  1. perbedaan dalam biaya per unit antara metode MPKP dengan rata-rata dapat dikurangi dengan cara menurunkan unit sediaan.
  2. Semakin kecil perbedaan antara sediaan akhir produk selesai dengan sediaan BDP
  3. Dibutuhkan cost driver atau dasar pembebanan yang baru (selain tenaga kerja langsung) untuk membebankan BOP ke proses dan produk.

Sistem Pemanufakturan Fleksibel dan Pemanufakturan Seluler 

     Dewasa ini semakin banyak perusahaan manufaktur yang menuju Flexible Manufacturing System (FMS) dan Cellular Manufacturing System (CMS).  FMS  menggunakan robot dan sistem penanganan bahan yang dikendalikan oleh komputer untuk menghubungkan beberapa mesin yang secara cepat dan efisien dapat diubah-ubah dari satu proses produksi ke proses produksi lainnya.

     Pengaruh FMS terhadap penentuan biaya produk sama dengan JIT. Dalam lingkungan FMS, sistem biaya proses lebih bermanfaat dibanding biaya pesanan karena lebih banyak laporan akuntansi yang didasarkan pada periode waktu bukan berdasarkan penutupan pesanan.
             
    CMS membentuk sel yang terdiri dari mesin dan peralatan yang dibutuhkan untuk mengolah bahan atau suku cadang dengan persyaratan pemrosesan yang serupa. Untuk memperbaiki efisiensi produksi, sebagian besar suku cadang berjalan dalam arah yang sama dari satu sel ke sel lainnya. Sekumpulan sel yang bertugas membuat produk, membuat suatu bentuk pabrik yang terfokus. Dengan CMS struktur proses manufaktur dilakukan berdasarkan lini produk bukan berdasarkan proses. Sehingga sistem penentuan biaya berdasarkan aktivitas (activity based costing) lebih bermanfaat dibandingkan sistem biaya proses tradisional.
Beberapa Pengertian Produk Rusak
            1. Menurut Supriono (1999:182) mengemukakan bahwa :
Produk rusak adalah produk yang kondisinya rusak atau tidak memenuhi ukuran mutu yang telah ditentukan dan tidak dapat diperbaiki secara ekonomis menjadi produk yang baik, meskipun mungkin secara teknik dapat diperbaiki akan berakibat biaya perbaikan jumlahnya lebih tinggi dibanding kenaikan nilai atau manfaat adanya perbaikan. 
2. Hartanto (1992:388) menjelaskan pengertian produk rusak adalah “merupakan unit-unit yang karena keadaan fisiknya tidak dapat dilakukan sebagai produk akhir, dan harus dibuang atau dijual dengan harga jauh dibawah harga jual produk akhir”. 
3. Mulyadi (1999:324) bahwa “produk rusak adalah produk yang tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan, yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki menjadi produk yang baik”.
Berdasarkan pengertian tentang produk rusak di atas dapat disimpulkan bahwa dalam membuat atau memproses suatu barang kadang-kadang terdapat produk rusak. Produk rusak ini merupakan produk yang tidak memenuhi standar mutu produk yang telah ditentukan dan secara ekonomis tidak dapat diperbaiki. Produk rusak ini mempunyai wujud fisik, tetapi kondisinya rusak. Pada dasarnya produk rusak secara teknis bisa diperbaiki menjadi produk yang baik, tetapi biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pada nilai manfaatnya, sehingga produk rusak dikatakan secara ekonomis tidak dapat diperbaiki. Produk rusak biasanya diketahui setelah selesainya proses produksi, sehingga produk rusak ini sudah menikmati biaya produksi sehingga produk rusak ini nantinya akan diikutkan dalam perhitungan unit ekuivalen.
Sebab Terjadinya Produk Rusak
Menurut Sutrisno (2001:124) bahwa “penyebab terjadinya produk rusak ada dua yaitu produk rusak karena kagiatan normal perusahaan atau produk rusak normal dan produk rusak karena kesalahan atau produk rusak abnormal”. Berikut ini disajikan penjelasan kedua penyebab terjadinya produk rusak :
a.       Produk rusak karena kegiatan normal perusahaan, yaitu apabila produk rusak ini memang sering terjadi pada kegiatan normal perusahaan, apabila produk rusak ini memang sering terjadi pada kegiatan normal perusahaan, sehingga biasanya memang dicadangkan adanya produk rusak dalam proses produksi. Untuk dapat dikatakan normal, menurut Hartanto (1992:390) bahwa sejumlah produk rusak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Diharapkan terjadi dalam kondisi operasi yang efisien.
2.      Bersifat inheren pada tingkat operasi yang direncanakan
3.      Bersifat tidak terkendali untuk jangka pendek.
Pada umumnya, biaya produksi atau harga pokok produk rusak yang bersifat normal diperlakukan sebagai bagian dari harga pokok produk selesai, karena adanya produk rusak dianggap perlu untuk menghasilkan sejumlah produk selesai tersebut.
b.      Produk rusak, karena kesalahan atau abnormal, yaitu apabila produk rusak yang penyebabnya karena kurangnya pengawasan, kesalahan pengerjaan, kerusakan mesin, pemakaian bahan dibawah kualitas standar. Untuk dapat dikatakan abnormal, maka Hartanto (1992:391) mengemukakan bahwa produk rusak memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.      Tidak diharapkan terjadi dalam kondisi operasi yang efisien.
2.      Tidak bersifat inheren pada tingkat operasi yang direncanakan.
3.      Bersifat terkendalikan, dalam arti supervisor dapat mempengaruhi tingkat efisiensi operasi.
Harga pokok atau biaya produksi yang melekat pada produk rusak bersifat abnormal, karena pada dasarnya dihindarkan diperlakukan sebagai suatu kerugian dalam periode terjadinya produk rusak.
 
Perlakuan Akuntansi Produk Rusak Terhadap Harga Pokok Produksi 

Dalam proses produksi memungkinkan timbulnya produk rusak. Bagi manajemen disamping mengetahui informasi produk rusak, juga harus mengetahui apakah produk rusak tersebut sifatnya normal atau abnormal. Sedangkan dari segi akuntansi biaya timbul masalah untuk perlakuan akuntansi atas produk rusak dalam penentuan harga pokok produksi. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam perhitungan harga pokok produksi, perusahaan perlu memperhitungkan adanya unit ekuivalen untuk menentukan harga pokok produk selesai, harga pokok produk dalam proses maupun harga pokok untuk produk rusak. Sehingga dapat menghasilkan perhitungan ataupun informasi harga pokok produk yang akurat sesuai dengan metode harga pokok produksi. Hasil dari perhitungan harga pokok produk tersebut dibuatkan jurnal sesuai dengan prosedur akuntansinya.
Tergantung pada tipe produksinya atau departemen-departemen yang tercakup dalam proses produksinya, di dalam praktek, terdapat berbagai metode atau perlakuan akuntansi terhadap produk rusak yang tidak dapat ditolerir, karena menyimpang dari tujuan akuntansinya, sampai yang paling akurat dan sangat informatif. Menurut Hartanto (1992:391) bahwa idealnya, akuntansi terhadap produk rusak harus mencakup tahap-tahap adalah :
a.       Tahap alokasi biaya produksi kepada harga pokok produk akhir, produk rusak normal dan produk rusak abnormal.
b.      Tahap pembebanan harga pokok produk rusak baik kepada produk akhir (untuk yang rusak normal) maupun kepada rugi produk rusak (untuk yang rusak abnormal).
Menurut Sutrisno (2001:124) bahwa “perlakuan harga pokok produk rusak, selain penyebab terjadinya produk rusak juga dipengaruhi apakah produk rusak tersebut laku dijual atau tidak laku dijual”. Uraian dari perlakuan harga pokok produk rusak tersebut di atas disajikan berikut ini:
a. Produk Rusak Tidak Laku Dijual
1.      Apabila penyebab terjadinya produk rusak bersifat normal, maka harga pokok produk rusak yang tidak laku dijual ini, akan dibebankan kepada produk selesai, yang mengakibatkan harga pokok produk selesai akan dibebankan kepada produk selesai, sehingga harga pokok produk selesai per unit akan menjadi lebih besar. Jadi, perlakuannya sama dengan produk akhir proses.
  Jurnal yang dibuat adalah :
                                 Persediaan Produk Selesai                                              Rp XXX
                                 Barang Dalam Proses – Biaya Bahan                              Rp XXX
                                 Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja                   Rp XXX
                                 Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik              Rp XXX
2.      Terjadinya produk rusak karena kesalahan dan produk rusak tidak laku dijual, maka harga pokok produk rusak tersebut tidak boleh diperhitungkan kedalam harga pokok produk selesai, tetapi harus dianggap sebagai kerugian, sehingga akan diperlakukan sebagai rugi produk rusak.
   Jurnal yang dibuat adalah :
                                Rugi Produk Rusak                                                         Rp XXX
                                Barang Dalam Proses – Biaya Bahan                               Rp XXX
                                Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja                    Rp XXX
                                Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik               Rp XXX
b. Produk Rusak Laku Dijual
1.      Bila penyebab produk rusak karena kegiatan normal perusahaan, dan produk rusak tersebut laku dijual, maka hasil penjualan produk rusak tersebut dapat diperlakukan sebagai:
a.       Pengurangan harga pokok selesai
Harga pokok produk rusak dibebankan ke produk selesai, sehingga apabila produk rusak tersebut laku dijual, maka sudah sewajarnya hasil penjualan tersebut digunakan sebagai pengurangan harga pokok produk selesai.
Jurnal yang dibuat adalah :
                         (D) Kas/Piutang Dagang                       Rp XXX
                (K) Persediaan Produk Selesai             Rp XXX
b.      Pengurang semua biaya produksi.
Dengan perlakuan ini memerlukan alokasi yang adil pada setiap elemen biaya produksi pada departemen dimana terdapat produk rusak, salah satu metode dapat digunakan alokasi berdasarkan perbandingan setiap elemen biaya.
Jurnal yang dibuat adalah :
                         (D) Kas/Piutang Dagang                                                          Rp XXX
                         (K) Barang Dalam Proses – Biaya Bahan                                 Rp XXX
                         (K) Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja                      Rp XXX
                         (K) Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik                 Rp XXX
c.       Pengurang biaya overhead pabrik
Perlakuan ini sangat mudah, tetapi perlu diperhitungkan bahwa apabila hasil penjualan produk rusak cukup besar sedang jumlah biaya overhead pabrik kecil, dimungkinkan biaya overhead akan minus.
Jurnal yang dibuat adalah :
                         (D) Kas/Piutang Dagang                                                        Rp XXX
                         (K) Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik              Rp XXX
d.      Penghasilan lain-lain
Perlakuan ini paling mudah digunakan, sehingga pada laporan harga pokok produksi nantinya sama dengan apabila ada produk hilang pada akhir proses tapi tidak sesuai dengan perlakuan harga pokok produk selesai.
Jurnal yang dibuat adalah :
                          (D) Kas/Piutang Dagang                                 Rp XXX
                          (K) Penghasilan lain-lain                                 Rp XXX
2.      Produk rusak yang laku dijual dan penyebab produk rusak karena kesalahan atau disebut juga produk rusak abnormal, maka hasil penjualan produk rusak tersebut akan diperlakukan sebagai pengurang rugi produk rusak, hal ini sesuai karena harga pokok produk rusak nantinya akan dimasukkan kedalam laporan rugi-laba sebagai elemen biaya lain.
Jurnal yang dibuat untuk mencatat hasil penjualan produk rusak yang diperlakukan sebagai pengurang rugi produk rusak adalah:
                                (D) Kas/Piutang Dagang                                 Rp XXX
                                (K) Rugi Produk Rusak                                  Rp XXX
Menurut Sutrisno (2001:133) bahwa “harga pokok produk rusak diperlakukan sebagai kerugian dan dimasukkan kedalam rekening rugi produk rusak yang pada akhir periode akan masuk pada laporan rugi-laba sebagai elemen biaya lain-lain”.

Minggu, 20 November 2016

Over Time / Lembur diberi Tunjangan Transport ?


Pertanyaan : 
 
- Apakah karyawan yang kerja lembur dapat Tunjangan Transport & Tunjangan makan ?
- Bolehkah Mengganti Upah Lembur dengan Uang Makan dan Transportasi?
- Bagaimana dasar hukumnya jika perusahaan yang tidak ingin membiasakan lembur bagi karyawanya dan mencoret isitilah lembur dari kamus? Tetapi menggantinya dengan uang makan dan pengganti transport kerja sampai larut. Penghilangan isitilah ini dilakukan agar manajer selalu berupaya untuk membuat perencanaan kerja sebaik mungkin dengan distribusi pekerjaan secara merata dengan baik dengan menggunakan jam kerja yang tersedia.
Jawaban :
Perlu diketahui bahwa waktu kerja diatur dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) sebagai berikut:
a.    7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.    8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
 
Pengusaha dapat saja mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja, akan tetapi harus memenuhi syarat: (lihat Pasal 78 ayat (1) UU Ketenagakerjaan)
a.    ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.    waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
 
Pada dasarnya pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja yang seharusnya, wajib membayar upah lembur. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-102/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (“Kepmenaker 102/2004”). Ini artinya upah lembur adalah sesuatu yang wajib dibayarkan oleh pengusaha jika pengusaha mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerjanya.
 
Penghitungan upah lembur itu sendiri adalah sebagai berikut: (lihat Pasal 11 Kepmenaker 102/2004)
a.    apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja:
a.1     untuk 7 jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam;
a.2     untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2 (dua) kali upah sejam.
b.    apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka
b.1     perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh 4 (empat) kali upah sejam;
b.2     apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.
c.    apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.
 
Mengenai upah lembur diganti dengan uang makan dan uang pengganti transportasi, pada dasarnya memang setiap pekerja yang lembur wajib diberikan makanan dan minuman oleh pengusaha jika kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih (Pasal 7 ayat (1) huruf c Kepmenaker 102/2004). Dan perlu diketahui, kewajiban pengusaha untuk memberikan pekerja makan di waktu lembur ini tidak boleh diganti dengan uang (Pasal 7 ayat (2) Kepmenaker 102/2004).
 
Ini berarti, uang makan tidak dapat digunakan sebagai pengganti upah lembur. Karena pada dasarnya pekerja berhak atas keduanya, upah lembur dan makanan serta minuman saat kerja lembur.
 
Sedangkan mengenai uang transportasi, peraturan perundang-undangan hanya mengatur tunjangan transportasi sebagai bagian dari tunjangan tidak tetap yang merupakan salah satu komponen upah (jadi tidak masuk kedalam upah lembur). Ini berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Se-07/Men/1990 Tahun 1990 Tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah.
 
Nah, jadi menurut hemat kami, jika upah lembur mau diganti dengan “uang makan dan transportasi” jumlahnya harus sama dengan jumlah penghitungan lembur, hanya beda penamaannya saja. Atau jika pekerja tetap mendapatkan makanan dan minuman serta “uang makan dan transportasi” yang besarnya sama dengan upah lembur, maka tidak menjadi masalah.
 
Akan tetapi, jika pekerja tidak diberikan makanan dan minuman serta uang makan dan transportasi tersebut jumlahnya tidak sesuai dengan ketentuan upah lembur dalam Kepmenaker 102/2004, maka hal tersebut tidak boleh dilakukan oleh perusahaan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
2.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-102/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur;
3.    Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Se-07/Men/1990 Tahun 1990 Tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah.

Selasa, 08 November 2016

Upah Minimum (UMR/UMP/UMSK) TIDAK SAMA dengan Gaji Pokok

       Perusahaan, baik besar maupun kecil sebagai pemberi kerja sudah menjadi kewajibannya untuk memahami besaran Upah Minimun yang harus diberikan kepada tenaga kerja yang dipakainya. Hal ini tentu terkait dengan adakah pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan seorang pimpinan terhadap pemberian kompensasi kepada pekerjanya.
      Kita perlu mengkaji lebih dalam mengenai apa itu Upah Minimum, dasar dari penetapan Upah Minimum dan siapa saja yang bertanggung jawab atas Upah Minimum. Kurangnya informasi mengenai Upah Minimum sering memicu terjadinya salah paham atau permasalahan bagi para pekerja.
  1. 1.       Pengertian Upah Minimum
Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Propinsi.
Menurut Permen no.1 Th. 1999 Pasal 1 ayat 1, Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Upah ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan berlaku selama 1 tahun berjalan.
Apabila kita merujuk ke Pasal 94 Undang-Undang (UU) no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Definisi tunjangan tetap disini adalah tunjangan yang pembayarannya dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran atau pencapaian prestasi kerja contohnya : tunjangan jabatan, tunjangan komunikasi, tunjangan keluarga, tunjangan keahlian/profesi. Beda halnya dengan tunjangan makan dan transportasi, tunjangan itu bersifat tidak tetap karena penghitungannya berdasarkan kehadiran atau performa kerja.
Apa yang dimaksud dengan Upah Minimum Provinsi (UMP)?
Upah Minimum Propinsi (UMP) adalah Upah Minimum yang berlaku untuk seluruh Kabupaten/Kota di satu Provinsi. Upah minimum ini di tetapkan setiap satu tahun sekali oleh Gubernur berdasarkan rekomendasi Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah (sekarang Dewan Pengupahan Provinsi). Penetapan upah minimum propinsi selambat-lambatnya 60 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum, yaitu tanggal 1 Januari
Apa yang dimaksud dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)?
Upah Minimum Kabupaten/Kota adalah Upah Minimum yang berlaku di Daerah Kabupaten/Kota. Penetapan Upah minimum kabupaten.kota dilakukan oleh Gubernur yang penetapannya harus lebih besar dari upah minimum propinsi. Penetapan upah minimum ini dilakukan setiap satu tahun sekali dan di tetapkan selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum yaitu 1 Januari.
Apa yang dimaksud dengan Upah Minimum Sektoral?
Upah minimum sektoral dapat terdiri atas upah minimum sektoral propinsi (UMSP) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Upah minimum sektoral propinsi adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di seluruh kabupaten/kota di satu propinsi, sedang Upah minimum sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) adalah Upah Minimum yang berlaku secara Sektoral di Daerah Kabupaten/Kota.
Upah minimum sektoral merupakan hasil perundingan dan kesepakatan antara asosiasi perusahaan dan serikat pekerja/serikat buruh. Usulan upah minimum sektoral (hasil kesepakatan) tersebut disampaikan kepada gubernur melalui Kepala Kantor wilayah Kementerian tenaga kerja untuk ditetapkan sebagai upah minimum sektoral propinsi dan atau upah minimum sektoral kabupaten.
  1. 2.       Beberapa dasar pertimbangan dari penetapan upah minimum
● Sebagai jaring pengaman agar nilai upah tidak melorot dibawah kebutuhan hidup minimum.
● Sebagai wujud pelaksanaan Pancasila, UUD 45 dan GBHN secara nyata.
● Agar hasil pembangunan tidak hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat yang memiliki kesempatan, tetapi perlu menjangkau sebagian terbesar masyarakat berpenghasilan rendah dan keluarganya.
● Sebagai satu upaya pemerataan pendapatan dan proses penumbuhan kelas menengah
● Kepastian hukum bagi perlindungan atas hak – hak dasar Buruh dan keluarganya sebagai warga negara Indonesia.
● Merupakan indikator perkembangan ekonomi Pendapatan Perkapita.
  1. 3.       Mekanisme Penetapan Upah
Peraturan pelaksana terkait upah minimum diatur dalam Permenakertrans No. 01 Tahun 1999 tentang Upah minimum, Kepmenakertrans No. 226/MEN/2000 tentang perubahan beberapa pasal dalam Permenaketrans No 01 tahun 1999.
Penetapan upah minimum dilakukan di tingkat propinsi atau di tingkat kabupaten/kotamadya, dimana Gubernur menetapkan besaran upah minimum propinsi (UMP) atau upah minimum Kabupaten/Kotamadya (UMK), berdasarkan usulan dari Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah (sekarang Dewan Pengupahan Provinsi atau Kab/Kota) dengan mempertimbangkan; kebutuhan hidup pekerja, indeks harga konsumen, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dsbnya.
Berikut adalah mekanikme penetapan upah minimum :
  • Usulan besaran upah minimum yang disampaikan oleh dewan pengupahan merupakan hasil survey kebutuhan hidup seorang pekerja lajang. Dalam ketentuan yang terbaru kebutuhan hidup seorang pekerja lajang diatur dalam Permenakertrans No, 13 Tahun 2012 tentang komponen dan pentahapan kebutuhan hidup layak, Dalam peraturan ini, pemerintah menetapkan 7 Kelompok dan 60 komponen kebutuhan bagi buruh/pekerja lajang yang menjadi dasar dalam melakukan survey harga dan menentukan besaran nilai upah minimum.
  • Peninjauan terhadap besarnya Upah Minimum Propinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota diadakan 1 (satu) tahun sekali atau dengan kata lain upah minimum berlaku selama 1 tahun.
  • Selain upah minimum sebagaimana tersebut tadi, Gubernur juga dapat menetapkan Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMS Propinsi) yang didasarkan pada Kesepakatan upah antara organisasi perusahaan dengan serikat pekerja/serikat buruh. Sehingga Upah Minimum dapat terdiri dari Upah Minimum Propinsi (UMP), Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMS Propinsi), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota(UMS Kabupaten/kota).
  • Sekalipun terdapat beberapa ketentuan upah minimum, namun upah minimum yang berlaku bagi setiap buruh/pekerja dalam suatu wilayah pada suatu industri tertentu hanya satu jenis upah minimum.
  • Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Tata cara penangguhan upah minimum diatur dalam Kepmenakertrans Nomor: Kep-231/Men/2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
  • Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum diajukan oleh pengusaha kepada Gubernur melalui Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum. Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat.


  1. 4.       Banyaknya angkatan kerja, perusahaan dan serikat buruh/pekerja di Indonesia.
Upah Minimum berlaku di 33 propinsi dan kurang lebih 340 kabupaten/kotamadya di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2008, terdapat 176.986 perusahaan sektor formal (punya legalitas seperti PT,CV) tercatat memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), di tahun 2011 diperkirakan meningkat menjadi 197.000 yang tercatat.
Data Statistik yang dilansir BPS pada Februari 2012, menunjukan jumlah angkatan kerja mencapai 120,4 juta jiwa bertambah sekitar 3,0 juta jiwa dibanding angkatan kerja pada Agustus 2011 sebesar 117,4 juta orang; dengan jumlah penduduk yang bekerja mencapai 112,8 juta jiwa dan sisanya 4,6 juta jiwa merupakan jumlah pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 6,32% mengalami penurunan dibanding tingkat pengangguran terbuka Agustus 2011 sebesar 6,56%.
Keadaan ketenagakerjaan di Indonesia pada Februari 2012 menunjukkan adanya perbaikkan yang digambarkan dengan adanya peningkatan jumlah angkatan kerja maupun jumlah penduduk bekerja dan penurunan tingkat pengangguran. Kenaikkan penduduk yang bekerja dapat terlihat di sektor perdagangan sekitar 780 ribu jiwa (3,36%), serta sektor keuangan sebesar 720 ribu (34,95%). Sedangkan sektor-sektor yang mengalami penurunan adalah sektor pertanian 1,3 juta jiwa (3,01%), dan sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi sebesar 380 ribu jiwa (6,81%).
Berdasarkan data terakhir tahun 2008, tercatat 3.405.615 jumlah anggota Serikat Pekerja (yang terdaftar, sesuai Kepmenaker No.16/ 2001 tentang Pencatatan Serikat Buruh/Pekerja). Sedang bila melihat jumlah total anggota Serikat Pekerja terdapat 1.092.832 lagi anggota Serikat Pekerja yang tidak terdaftar. Bila dilihat dari tingkat keanggotaan Serikat Pekerja, maka densitas serikat di Indonesia hanya mencapai 5 - 10% dari jumlah pekerja.
  1. 5.       Instansi yang bertanggung jawab memperbaiki Upah Minimum
Dewan Pengupahan bertanggung jawab melakukan kajian studi mengenai Upah Minimum yang nantinya akan diserahkan kepada Gubernur, Walikota/Bupati masing-masing daerah. Dewan Pengupahan sendiri terdiri dari 3 unsur, yaitu Pemerintah, Pengusaha dan Serikat Pekerja.
Dewan Pengupahan Propinsi untuk upah minimum tingkat Propinsi. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kotamadya untuk tingkat Kabupaten/Kotamadya

  1. 6.       Komponen Upah Minimum
Upah Minimum = Gaji Pokok + Tunjangan Tetap
Apakah Anda mengetahui apa saja yang termasuk dalam komponen upah? Dalam Undang-Undang, ada 3 (tiga) komponen upah yaitu gaji pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Lalu apa pengertian dari ketiga komponen upah tersebut?
Berikut adalah pengertian dari gaji pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-07/Men/1990 tentang Pengelompokan Upah dan Pendapatan Non Upah :
a. Gaji Pokok
Gaji pokok adalah adalah imbalan dasar (basic salary) yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
b. Tunjangan Tetap
Tunjangan tetap adalah pembayaran kepada pekerja yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja atau pencapaian prestasi kerja tertentu (penjelasan pasal 94 UU No. 13/2003). Tunjangan tetap tersebut dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, seperti tunjangan isteri dan/atau tunjangan anak, tunjangan perumahan, tunjangan daerah tertentu.
c. Tunjangan Tidak Tetap
Tunjangan Tidak Tetap adalah pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tidak tetap dan dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti tunjangan transpor dan/atau tunjangan makan yang didasarkan pada kehadiran.
Jadi, apakah besarnya gaji yang diterima pekerja setiap bulan (gaji pokok + tunjangan tetap + tunjangan tidak tetap) setara dengan Upah Minimum?
TIDAK. Apabila kita merujuk ke Pasal 94 Undang-Undang (UU) no.13 tahun 2003 tentang Tenaga Kerja, komponen Upah Minimum hanya terdiri dari gaji pokok dan tunjangan tetap. Tunjangan tidak tetap tidak termasuk dalam komponen Upah Minimum. Besarnya gaji pokok sekurang-kurangnya harus sebesar 75 % dari jumlah Upah Minimum.
UPAH MINIMUM = GAJI POKOK (75% dari Upah Minimum) + TUNJANGAN TETAP (25% dari Upah Minimum)
Contoh : Upah Minimum Provinsi Jakarta sebesar Rp. 2.200.000. Apabila Anda bekerja di DKI Jakarta, perusahaan dilarang membayar pekerja tersebut dengan upah yang lebih rendah dari Rp 2.200.000. Perusahaan juga harus memberikan gaji pokok sekurang-kurangnya 75% dari Rp. 2.200.000 yakni sebesar Rp. 1.650.000. Jadi apabila gaji keseluruhan Anda Rp. 2.300.000 (yang notabene lebih besar dari UMP Jakarta) akan tetapi gaji pokok Anda hanya sebesar Rp. 1.400.000 (kurang dari 75% UMP Jakarta) maka Anda telah dibayar dibawah Upah Minimum DKI Jakarta.
Pada prakteknya, sering kali jumlah tunjangan menjadi lebih besar dari gaji pokok yang diterima oleh seorang pekerja. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan salah pengertian di dalam hubungan kerja yang akhirnya akan dapat mengganggu hubungan antara pengusaha dengan pekerja.
Karena tunjangan yang diberikan besar maka jumlah gaji keseluruhan (take home pay) dirasa telah melebihi Upah Minimum, padahal Upah Minimum hanya terdiri dari Gaji pokok + tunjangan tetap saja.
Semoga pengetahuan Anda mengenai komponen upah dan upah minimum semakin bertambah.

Sumber:
  • Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
  • Indonesia. Keputusan Menteri No.1 tahun 1999
  • Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja no.16 tahun 2001
  • Wawancara dengan anggota Dewan Pengupahan Nasional Markus Sidauruk. KSBSI Indonesia
  • Wawancara dengan anggota dewan pengawas ILO, Rekson Silaban. 
  • Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
  • Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP 49/MEN/1994 tentang Struktur dan Skala Upah
  • Hukum Online