Produk
rusak (spoilage) merupakan unit yang tidak dapat diterima sehingga harus
dibuang atau dijual dengan nilai yang lebih rendah. Produk cacat (rework)
adalah unit yang perlu diperbaiki secara ekonomi, sehingga produk tersebut
dapat dijual melalui saluran reguler. Sisa Bahan (Scrap) merupakan
bagian dari produk yang tidak memiliki nilai atau jika memiliki, nilainya
sangat kecil.
1. Produk Rusak Ada dua jenis produk rusak : produk
rusak normal dan produk rusak tidak normal. Produk rusak normal terjadi dalam
kondisi operasi yang efisien dan tidak dapat dikendalikan dalam jangka pendek
dan diperhitungkan sebagai bagian dari biaya produk. Sedangkan produk rusak
tidak normal menyebabkan kerugian melebihi atau di atas perkiraan dalam kondisi
operasi yang efisien dan dibebankan sebagai kerugian dalam periode berjalan.
Biasanya produk rusak ditemukan pada
akhir proses dengan demikian ia telah menyerap biaya produksi sehingga harus
dimasukkan dalam perhitungan unit ekuivalen.
2. Produk Cacat Sebagaimana diketahui, produk
cacat adalah produk yang tidak sesuai
standar dan masih dapat diperbaiki. Maka membutuhkan biaya perbaikan., dapat
berupa biaya bahan baku, tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik. Persoalannya
adalah perlakuan atas biaya perbaikan tersebut.Produk cacat dapat bersifat normal
ataupun tidak normal. Perlakuan atas
biaya tambahan adalah sebagai berikut :
- Jika
cacat normal : biaya perbaikan akan menambah biaya produksi.
- Jika
cacat tidak normal : biaya perbaikan diperlakukan sebagai rugi produk cacat.
Tidak dimasukkan ke dalam biaya produksi, Biaya produksi tidak bertambah.
Produk
cacat masuk dalam perhitungan unit ekuivalen.
PENGARUH
LINGKUNGAN MANUFAKTUR BARU
Sistem Just In Time
Tiga pengaruh utama sistem
JIT pada metode biaya proses :
- perbedaan dalam biaya per unit antara
metode MPKP dengan rata-rata dapat dikurangi dengan cara menurunkan unit
sediaan.
- Semakin kecil perbedaan antara sediaan
akhir produk selesai dengan sediaan BDP
- Dibutuhkan cost driver atau dasar
pembebanan yang baru (selain tenaga kerja langsung) untuk membebankan BOP
ke proses dan produk.
Sistem Pemanufakturan Fleksibel dan
Pemanufakturan Seluler
Dewasa ini semakin
banyak perusahaan manufaktur yang menuju Flexible Manufacturing System (FMS)
dan Cellular Manufacturing System (CMS).
FMS menggunakan robot dan sistem
penanganan bahan yang dikendalikan oleh komputer untuk menghubungkan beberapa
mesin yang secara cepat dan efisien dapat diubah-ubah dari satu proses produksi
ke proses produksi lainnya.
Pengaruh FMS terhadap penentuan biaya produk sama dengan
JIT. Dalam lingkungan FMS, sistem biaya proses lebih bermanfaat dibanding biaya
pesanan karena lebih banyak laporan akuntansi yang didasarkan pada periode
waktu bukan berdasarkan penutupan pesanan.
CMS membentuk sel yang terdiri dari
mesin dan peralatan yang dibutuhkan untuk mengolah bahan atau suku cadang
dengan persyaratan pemrosesan yang serupa. Untuk memperbaiki efisiensi
produksi, sebagian besar suku cadang berjalan dalam arah yang sama dari satu
sel ke sel lainnya. Sekumpulan sel yang bertugas membuat produk, membuat suatu
bentuk pabrik yang terfokus. Dengan CMS struktur proses manufaktur dilakukan
berdasarkan lini produk bukan berdasarkan proses. Sehingga sistem penentuan
biaya berdasarkan aktivitas (activity based costing) lebih bermanfaat
dibandingkan sistem biaya proses tradisional.
Beberapa Pengertian Produk Rusak
1. Menurut Supriono (1999:182)
mengemukakan bahwa :
Produk rusak adalah produk
yang kondisinya rusak atau tidak memenuhi ukuran mutu yang telah ditentukan dan
tidak dapat diperbaiki secara ekonomis menjadi produk yang baik, meskipun
mungkin secara teknik dapat diperbaiki akan berakibat biaya perbaikan jumlahnya
lebih tinggi dibanding kenaikan nilai atau manfaat adanya perbaikan.
2. Hartanto (1992:388)
menjelaskan pengertian produk rusak adalah “merupakan unit-unit yang karena
keadaan fisiknya tidak dapat dilakukan sebagai produk akhir, dan harus dibuang
atau dijual dengan harga jauh dibawah harga jual produk akhir”.
3. Mulyadi
(1999:324) bahwa “produk rusak adalah produk yang tidak memenuhi standar mutu
yang telah ditetapkan, yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki menjadi
produk yang baik”.
Berdasarkan pengertian tentang
produk rusak di atas dapat disimpulkan bahwa dalam membuat atau memproses suatu
barang kadang-kadang terdapat produk rusak. Produk rusak ini merupakan produk
yang tidak memenuhi standar mutu produk yang telah ditentukan dan secara
ekonomis tidak dapat diperbaiki. Produk rusak ini mempunyai wujud fisik, tetapi
kondisinya rusak. Pada dasarnya produk rusak secara teknis bisa diperbaiki
menjadi produk yang baik, tetapi biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pada
nilai manfaatnya, sehingga produk rusak dikatakan secara ekonomis tidak dapat
diperbaiki. Produk rusak biasanya diketahui setelah selesainya proses produksi,
sehingga produk rusak ini sudah menikmati biaya produksi sehingga produk rusak
ini nantinya akan diikutkan dalam perhitungan unit ekuivalen.
Sebab Terjadinya Produk Rusak
Menurut Sutrisno (2001:124)
bahwa “penyebab terjadinya produk rusak ada dua yaitu produk rusak karena
kagiatan normal perusahaan atau produk rusak normal dan produk rusak karena
kesalahan atau produk rusak abnormal”. Berikut ini disajikan penjelasan kedua
penyebab terjadinya produk rusak :
a. Produk rusak karena kegiatan normal
perusahaan, yaitu apabila produk rusak ini memang sering terjadi pada kegiatan normal
perusahaan, apabila produk rusak ini memang sering terjadi pada kegiatan normal
perusahaan, sehingga biasanya memang dicadangkan adanya produk rusak dalam
proses produksi. Untuk dapat dikatakan normal, menurut Hartanto (1992:390)
bahwa sejumlah produk rusak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Diharapkan terjadi dalam kondisi operasi
yang efisien.
2. Bersifat inheren pada tingkat operasi yang
direncanakan
3. Bersifat tidak terkendali untuk jangka
pendek.
Pada umumnya, biaya produksi atau harga pokok
produk rusak yang bersifat normal diperlakukan sebagai bagian dari harga pokok
produk selesai, karena adanya produk rusak dianggap perlu untuk menghasilkan
sejumlah produk selesai tersebut.
b. Produk rusak, karena kesalahan atau
abnormal, yaitu apabila produk rusak yang penyebabnya karena kurangnya
pengawasan, kesalahan pengerjaan, kerusakan mesin, pemakaian bahan dibawah
kualitas standar. Untuk dapat dikatakan abnormal, maka Hartanto (1992:391)
mengemukakan bahwa produk rusak memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Tidak diharapkan terjadi dalam kondisi
operasi yang efisien.
2. Tidak bersifat inheren pada tingkat
operasi yang direncanakan.
3. Bersifat terkendalikan, dalam arti
supervisor dapat mempengaruhi tingkat efisiensi operasi.
Harga pokok atau biaya produksi yang melekat
pada produk rusak bersifat abnormal, karena pada dasarnya dihindarkan
diperlakukan sebagai suatu kerugian dalam periode terjadinya produk rusak.
Perlakuan
Akuntansi Produk Rusak Terhadap Harga Pokok Produksi
Dalam
proses produksi memungkinkan timbulnya produk rusak. Bagi manajemen disamping
mengetahui informasi produk rusak, juga harus mengetahui apakah produk rusak
tersebut sifatnya normal atau abnormal. Sedangkan dari segi akuntansi biaya
timbul masalah untuk perlakuan akuntansi atas produk rusak dalam penentuan
harga pokok produksi. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam perhitungan harga
pokok produksi, perusahaan perlu memperhitungkan adanya unit ekuivalen untuk
menentukan harga pokok produk selesai, harga pokok produk dalam proses maupun
harga pokok untuk produk rusak. Sehingga dapat menghasilkan perhitungan ataupun
informasi harga pokok produk yang akurat sesuai dengan metode harga pokok
produksi. Hasil dari perhitungan harga pokok produk tersebut dibuatkan jurnal
sesuai dengan prosedur akuntansinya.
Tergantung pada tipe
produksinya atau departemen-departemen yang tercakup dalam proses produksinya,
di dalam praktek, terdapat berbagai metode atau perlakuan akuntansi terhadap
produk rusak yang tidak dapat ditolerir, karena menyimpang dari tujuan akuntansinya,
sampai yang paling akurat dan sangat informatif. Menurut Hartanto (1992:391)
bahwa idealnya, akuntansi terhadap produk rusak harus mencakup tahap-tahap
adalah :
a. Tahap alokasi biaya produksi kepada harga
pokok produk akhir, produk rusak normal dan produk rusak abnormal.
b. Tahap pembebanan harga pokok produk rusak
baik kepada produk akhir (untuk yang rusak normal) maupun kepada rugi produk
rusak (untuk yang rusak abnormal).
Menurut Sutrisno (2001:124) bahwa “perlakuan harga
pokok produk rusak, selain penyebab terjadinya produk rusak juga dipengaruhi
apakah produk rusak tersebut laku dijual atau tidak laku dijual”. Uraian dari
perlakuan harga pokok produk rusak tersebut di atas disajikan berikut ini:
a. Produk Rusak Tidak Laku
Dijual
1. Apabila penyebab terjadinya produk rusak
bersifat normal, maka harga pokok produk rusak yang tidak laku dijual ini, akan
dibebankan kepada produk selesai, yang mengakibatkan harga pokok produk selesai
akan dibebankan kepada produk selesai, sehingga harga pokok produk selesai per
unit akan menjadi lebih besar. Jadi, perlakuannya sama dengan produk akhir
proses.
Jurnal yang dibuat adalah :
Persediaan Produk Selesai Rp XXX
Barang Dalam Proses – Biaya Bahan Rp XXX
Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja Rp XXX
Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik Rp XXX
2. Terjadinya produk rusak karena kesalahan
dan produk rusak tidak laku dijual, maka harga pokok produk rusak tersebut
tidak boleh diperhitungkan kedalam harga pokok produk selesai, tetapi harus
dianggap sebagai kerugian, sehingga akan diperlakukan sebagai rugi produk
rusak.
Jurnal yang dibuat adalah :
Rugi Produk Rusak Rp XXX
Barang Dalam Proses – Biaya Bahan Rp XXX
Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja Rp XXX
Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik Rp XXX
b. Produk Rusak Laku Dijual
1. Bila penyebab produk rusak karena kegiatan
normal perusahaan, dan produk rusak tersebut laku dijual, maka hasil penjualan
produk rusak tersebut dapat diperlakukan sebagai:
a. Pengurangan harga pokok selesai
Harga pokok produk rusak dibebankan ke produk
selesai, sehingga apabila produk rusak tersebut laku dijual, maka sudah
sewajarnya hasil penjualan tersebut digunakan sebagai pengurangan harga pokok
produk selesai.
Jurnal yang dibuat adalah :
(D) Kas/Piutang Dagang Rp XXX
(K) Persediaan Produk Selesai Rp XXX
b. Pengurang semua biaya produksi.
Dengan perlakuan ini memerlukan alokasi yang adil
pada setiap elemen biaya produksi pada departemen dimana terdapat produk rusak,
salah satu metode dapat digunakan alokasi berdasarkan perbandingan setiap elemen
biaya.
Jurnal yang dibuat adalah :
(D) Kas/Piutang Dagang Rp XXX
(K) Barang Dalam Proses – Biaya Bahan Rp XXX
(K) Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja Rp XXX
(K) Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik Rp XXX
c. Pengurang biaya overhead pabrik
Perlakuan ini sangat mudah, tetapi perlu
diperhitungkan bahwa apabila hasil penjualan produk rusak cukup besar sedang
jumlah biaya overhead pabrik kecil, dimungkinkan biaya overhead akan minus.
Jurnal yang dibuat adalah :
(D) Kas/Piutang Dagang Rp XXX
(K) Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik Rp XXX
d. Penghasilan lain-lain
Perlakuan ini paling mudah digunakan, sehingga
pada laporan harga pokok produksi nantinya sama dengan apabila ada produk
hilang pada akhir proses tapi tidak sesuai dengan perlakuan harga pokok produk selesai.
Jurnal yang dibuat adalah :
(D) Kas/Piutang Dagang Rp XXX
(K) Penghasilan lain-lain Rp XXX
2. Produk rusak yang laku dijual dan penyebab
produk rusak karena kesalahan atau disebut juga produk rusak abnormal, maka
hasil penjualan produk rusak tersebut akan diperlakukan sebagai pengurang rugi
produk rusak, hal ini sesuai karena harga pokok produk rusak nantinya akan
dimasukkan kedalam laporan rugi-laba sebagai elemen biaya lain.
Jurnal yang dibuat untuk mencatat hasil penjualan
produk rusak yang diperlakukan sebagai pengurang rugi produk rusak adalah:
(D) Kas/Piutang Dagang Rp XXX
(K) Rugi Produk Rusak Rp XXX
Menurut Sutrisno (2001:133) bahwa “harga pokok
produk rusak diperlakukan sebagai kerugian dan dimasukkan kedalam rekening rugi
produk rusak yang pada akhir periode akan masuk pada laporan rugi-laba sebagai
elemen biaya lain-lain”.