Jumat, 30 Desember 2016

Biaya OVER HEAD PABRIK

By. Mas Abu (dari Blog Ciputra)


PENGERTIAN BIAYA OVERHEAD PABRIK
      Ketika mengatur anggaran keuangan tiap bulan, pernahkah Anda menyisihkan sedikit uang untuk mengantisipasi pengeluaran-pengeluaran tidak terduga? Jika Anda pernah melakukannya, maka Anda adalah tipe orang yang selalu ‘sedia payung sebelum hujan’. 
Saat ini mulai banyak orang yang mengatur anggaran keuangannya dengan sangat detail. Mereka biasanya telah membagi keuangan mereka ke dalam kategori-kategori pengeluaran yang rutin mereka lakukan setiap bulan. Misalnya saja, anggaran untuk makan, bensin, hingga anggaran untuk cicilan rumah atau mobil. Sayangnya, belum banyak orang yang memasukkan kategori “pengeluaran tidak terduga” dalam anggarannya. Padahal, menganggarkan biaya tidak terduga dalam keuangan merupakan hal yang penting sebagai upaya menjaga kondisi keuangan Anda agar tetap stabil. 
     Persiapan anggaran pengeluaran tidak terduga tidak hanya penting untuk dilakukan dalam penyusunan anggaran rumah tangga, namun penting pula untuk dilakukan oleh perusahaan. Istilah yang tepat untuk menyebut pengeluaran-pengeluaran tidak terduga sebuah perusahaan adalah biaya overhead pabrik.  
Biaya overhead pabrik (manufacturing overhead costs) adalah biaya produksi yang tidak masuk dalam biaya bahan baku maupun biaya tenaga kerja langsung. Apabila suatu perusahaan juga memiliki departemen-departemen lain selain departemen produksi maka semua biaya yang terjadi di departemen pembantu tersebut (termasuk biaya tenaga kerjanya) dikategorikan sebagai biaya overhead pabrik. Biaya overhead pabrik biasanya muncul dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk pemakaian bahan tambahan, biaya tenaga kerja tak langsung, pengawasan mesin produksi, pajak, asuransi, hingga fasilitas-fasilitas tambahan yang diperlukan dalam proses produksi.

PENGGOLONGAN BIAYA OVERHEAD PABRIK
     Sebelum menentukan anggaran biaya overhead pabrik, kita harus bisa menggolongkan biaya overhead pabrik terlebih dahulu. Dengan adanya penggolongan, kita akan lebih mudah dalam menentukan seberapa besar anggaran yang perlu disisihkan sebagai anggaran biaya overhead pabrik sesuai dengan usaha di perusahaan kita. Biaya overhead pabrik dapat digolongkan ke dalam tiga kriteria, yakni:
1. Penggolongan biaya overhead pabrik menurut sifatnya
Berdasarkan sifatnya, biaya overhead pabrik dapat dibagi menjadi:
a. Biaya bahan penolong
Bahan penolong yang dimaksud dalam hal ini adalah bahan yang tidak menjadi bagian dari hasil produksi atau bahan yang nilainya relatif kecil dibandingkan harga keseluruhan produk. 
b. Biaya tenaga kerja tak langsung
Tenaga kerja tak langsung yang dimaksud dalam biaya overhead pabrik adalah tenaga kerja perusahaan yang upahnya tidak dapat diperhitungkan secara langsung kepada produk.
c. Biaya reparasi dan pemeliharaan
Biaya reparasi dan pemeliharaan yang dimaksud dalam biaya overhead pabrik adalah biaya suku cadang (spareparts), biaya bahan habis pakai (factory supplies), dan harga jasa yang perlu dikeluarkan perusahaan untuk keperluan perbaikan dan pemeliharaan mesin produksi, kendaraan, dan alat-alat perusahaan lainnya. 

2. Penggolongan biaya overhead pabrik menurut perilakunya dalam hubungan dengan perubahan volume produksi.
    Penggolongan biaya overhead pabrik yang selanjutnya dibagi berdasarkan perilakunya dalam hubungan dengan perubahan volume produksi. Perilaku biaya overhead pabrik ini dapat dibagi menjadi tiga golongan:
a. Biaya overhead pabrik tetap, yakni biaya overhead pabrik yang tidak berubah meskipun terjadi perubahan dalam volume produksi.
b. Biaya overhead pabrik variabel, yakni biaya overhead pabrik yang berubah sebanding dengan perubahan volume produksi.
c. Biaya overhead pabrik semivariabel, yakni biaya overhead pabrik yang berubah namun tidak sebanding dengan perubahan volume produksi. Untuk memudahkan penentuan tarif biaya overhead pabrik, biasanya biaya overhead pabrik semivariabel akan dipecah menjadi dua unsur yakni biaya tetap dan biaya variabel.
3. Penggolongan biaya overhead pabrik menurut hubungannya dengan departemen.
Selain departemen produksi, sebuah perusahaan pasti memiliki departemen lain yang dikategorikan sebagai departemen pembantu. Berdasarkan hubungannya dengan departemen-departemen yang ada dalam perusahaan, biaya overhead pabrik dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Biaya overhead pabrik langsung departemen (direct departemental overhead expenses), yakni biaya overhead pabrik yang ada dalam sebuah departemen dan manfaatnya hanya dapat dinikmati oleh departemen tersebut.
b. Biaya overhead pabrik tidak langsung departemen (indirect departemental overhead expenses), yakni biaya overhead pabrik yang manfaatnya dapat dinikmati oleh lebih dari satu departemen.

METODE PENENTUAN TARIF BIAYA OVERHEAD PABRIK
    Untuk menentukan tarif biaya overhead pabrik, perusahaan perlu memperhatikan jumlah tarif biaya overhead pabrik yang akan digunakan. Terdapat tiga alternatif yang dapat perusahaan digunakan untuk menentukan tarif biaya overhead pabrik, yaitu:
1. Plantwide Rate / Tarif Tunggal
Perusahaan hanya menggunakan tarif biaya overhead pabrik untuk pembebanan biaya overhead pabrik ke pesanan maupun produknya dari awal sampai akhir proses.
2. Departemental Rate / Tarif Departementalisasi
Perusahaan menetapkan tarif biaya overhead pabrik untuk setiap tahapan atau departemen produksi yang ada di perusahaan. Jumlah tarif biaya overhead pabrik tergantung dari tahapan atau departemen produksi yang ada.
3. Activity Rate / Tarif Setiap Aktivitas
Perusahaan menetapkan tarif biaya overhead pabrik untuk setiap aktivitas yang terjadi dalam pembuatan produknya. Cara ini dikenal dengan Activity Based Costing (ABC).

MENGHITUNG BIAYA OVERHEAD PABRIK
   Untuk bisa menghitung biaya overhead pabrik, terdapat tahap-tahap yang harus dilakukan oleh perusahaan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menyusun anggaran biaya overhead pabrik
Penyusunan anggaran biaya overhead pabrik didasarkan pada volume kegiatan yang akan dilaksanakan di masa depan.
2. Memilih dan menaksir dasar pembebanan biaya overhead pabrik
Dasar pembebanan biaya overhead pabrik kepada produk, dapat dipilih berdasarkan satuan produk, biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, jam tenaga kerja langsung, jam mesin. Sementara itu faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembebanan biaya overhead pabrik antara lain:
a. Memperhatikan jenis biaya overhead pabrik yang dominan jumlahnya dalam departemen produksi
b. Memperhatikan sifat-sifat biaya overhead pabrik yang dominan tersebut dan hubungannya dengan dasar pembebanan yang akan dipakai.
c. Menghitung tarif biaya overhead pabrik yang dapat dilakukan dengan rumus: 

          By.Overhead yang dianggarkan  :  taksiran dasar pembebanan = Tarif By.Overhead

BERBAGAI RUMUS TAMBAHAN PENGHITUNGAN BIAYA OVERHEAD PABRIK
   Selain rumus di atas, biaya overhead pabrik juga dapat dihitung berdasarkan jenis perusahaan. Macam-macam penghitungan dasar pembebanan biaya overhead pabrik kepada produk antara lain:
a. Jumlah satuan produk
Metode ini langsung membebankan biaya overhead pabrik kepada produk dan lebih cocok digunakan dalam perusahaan yang hanya memproduksi satu jenis produk. Beban biaya overhead pabrik untuk setiap produk dihitung dengan rumus:

          Taksiran By.OHP  :  Taksiran jumlah produk yang dihasilkan = Tarif OHP per satuan

b. Biaya bahan baku
Apabila harga pokok bahan baku sebagai dasar pembebanan, maka tarif biaya overhead pabrik dapat dihitung dengan rumus:

         (Taksiran By.OHP  :  Taksiran By.Bahan baku yg dipakai ) X 100%=%OHP bahan baku

Sebagai catatan, semakin besar biaya bahan baku yang dikeluarkan untuk mengolah produk, maka semakin besar pula biaya overhead pabrik yang dibebankan kepada produk. Metode ini terbatas penggunaannya karena adanya kemungkinan sebuah produk dibuat dari bahan baku dengan harga yang mahal, sementara produk lain dibuat dari bahan yang lebih murah. Dalam kasus seperti ini, jika pengerjaan kedua produk sama, maka produk pertama akan menerima beban biaya overhead pabrik yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang kedua. 

c. Biaya tenaga kerja
Apabila sebagian besar elemen biaya overhead pabrik mempunyai hubungan yang erat dengan jumlah upah tenaga kerja langsung, maka dasar yang dipakai untuk membebankan biaya overhead pabrik adalah biaya tenaga kerja langsung. Tarif biaya overhead pabrik dihitung dengan rumus:

             (Taksiran OHP : taksiran by.Tenaga kerja langsung) X100%=%

 Penting sebagai catatan, metode ini memiliki kelemahan karena biaya overhead pabrik harus dilihat sebagai tambahan nilai produk. Jumlah biaya tenaga kerja langsung juga dianggap meliputi upah tenaga kerja dari berbagai tingkatan yang ada dalam perusahaan.  

d. Jam tenaga kerja langsung
     Apabila biaya overhead pabrik mempunyai hubungan erat dengan waktu untuk membuat produk, maka dasar yang dipakai untuk membebankan adalah jam tenaga kerja langsung.
 e. Jam mesin
Apabila biaya overhead pabrik bervariasi dengan waktu penggunaan mesin maka dasar yang dipakai membebankan adalah jam mesin. 


Jumat, 25 November 2016

Cara Menghitung Biaya Pemakaian LISTRIK mesin Produksi

         Di dalam Industri Manufaktur, peralatan yang paling banyak dipakai dalam produksi adalah peralatan yang menggunakan daya listrik sebagai energi atau tenaga untuk dapat mengerakkan peralatan tersebut. Peralatan-peralatan Listrik tersebut antara lain : Soldering Iron, Electric Screw Driver (Obeng Listrik), Mesin Solder, Mesin Bonding, Ionizer, Komputer, Air Conditioner (AC), Kompresor Angin dan Alat-alat uji dan pengukuran seperti  Osciloscope, Voltmeter, Signal Generator dan  Audio Analyzer.

Biaya Listrik merupakan salah satu biaya operasional produksi yang tertinggi setelah biaya Tenaga Kerja (Manpower). Pada umumnya, biaya listik yang digolongkan sebagai “Electric Utility Cost” memakan porsi biaya sekitar 7% ~ 10% dari total biaya operasional produksi sehingga sangat penting sekali bagi kita untuk melakukan penghematan dan optimasi pemakaian peralatan listrik tersebut.
Untuk meng-optimasi-kan pemakaian listrik dan penghematan biaya listrik, tentunya kita harus mengetahui seberapa banyak peralatan tersebut meng-konsumsi-kan listriknya yang kemudian akan kita konversikan ke dalam biaya pemakaian listrik. Untuk melakukan perhitungan biaya pemakaian listrik, kita juga harus mengetahui tarif listrik yang telah ditetapkan oleh PLN setempat.

Contoh dan cara menghitung biaya Pemakaian Listrik pada Peralatan Produksi

Berikut ini cara untuk menghitung biaya pemakaian listrik untuk peralatan-peralatan yang sering digunakan dalam produksi.
Saya mengambil contoh sebuah Pabrik yang berskala industri kecil-menengah  di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Karena berlokasi di Batam, maka tarif yang kita gunakan adalah tarif yang ditentukan oleh PLN Kota Batam.  Contohnya di golongan I-1/TR (industri golongan 1 dengan memakai Tegangan Rendah).
TDL listrik Batam
Ada dua Jenis label informasi tentang penggunaan daya listrik pada peralatan produksi tersebut, yaitu adanya penulisan pemakaian Watt dan yang satu jenis lagi hanya tertuliskan Voltage dan Ampere. Berikut ini adalah cara perhitungan untuk kedua jenis label pada peralatan-peralatan listrik :

Adanya Informasi tentang Daya (Wattage) Pemakaian Listrik di Peralatan

Contoh Kasus I
Contoh Peralatan yang ingin dihitung biaya pemakaian listriknya adalah Solder yang bermerek Hakko dengan konsumsi daya sebesar 60W dan Tegangan listrik yang dipakainya adalah 230 Volt (label konsumsi daya listrik, seperti digambar bawah ini).
daya listrik soldering iron
Penyelesaiannya :
Diketahui :
Tarif / kWh          : Rp. 832,-
Konsumsi listrik : 60W (0.06kW)
Biaya Listrik per Jam = tariff/kWh x Wattage
Biaya Listrik per Jam = Rp. 832 x 0.06 kW
Biaya Listrik per Jam = Rp. 49,94/Jam
Jika di Pabrik tersebut memiliki 20 unit Soldering Iron yang dihidupkan selama 24 Jam per hari dalam 24 hari kerja. Maka Biaya pemakaian Listrik dalam sebulan adalah :
Rp. 49,94 x 20 unit x 24 Jam x 24 hari = Rp. 575.308,8 per bulan.

Contoh Kasus II
Di Pabrik yang sama, Mesin yang ingin dihitung biaya pemakaiannya adalah Mesin Solder dengan Konsumsi daya listrik sebesar 33 KiloWatt pada tegangan 380Volt.
Penyelesaiannya :
Diketahui :
Tarif / kWh          : Rp. 832,-
Konsumsi listrik : 33 kW
Biaya Listrik per Jam = tariff/kWh x Wattage
Biaya Listrik per Jam = Rp. 832 x 33kW
Biaya Listrik per Jam = Rp. 27.456/Jam
Jika di Pabrik tersebut memiliki 2 unit Mesin Solder yang dihidupkan selama 24 Jam per hari dalam 24 hari kerja. Maka Biaya pemakaian Listrik Solder Mesin tersebut dalam sebulan adalah :
Rp. 27.546 x 2 unit x 24 Jam x 24 hari = Rp. 31,732,992 per bulan.

Hanya terdapat informasi tentang Voltage (Tegangan) dan Ampere (Arus Listrik) di Peralatannya

Jika di peralatan tersebut tidak tertulis Daya atau Wattage pemakaian Listrik, maka kita dapat melakukan perhitungan Daya atau Wattage-nya berdasarkan Voltage dan Ampere yang tertera di Peralatan tersebut.
daya listrik lcd monitor
Contoh Kasus III
Masih di Pabrik yang sama, Sebuah LCD Monitor hanya tertulis Power Rating AC 100~240 Volt dengan pemakaian Arus Listrik sebanyak 1.5 Ampere. Berapakah Biaya Pemakaian Listrik tersebut ?
Penyelesaiannya
Tarif / kWh          : Rp. 832,-
Tegangan           : 220 Voltage (karena di Indonesia, PLN mengeluarkan tegangan 220V)
Arus Listrik         : 1.5A
Pertama, kita harus hitung Daya (Wattage) pemakaian listriknya terlebih dahulu.
Watt = Volt x Ampere
Watt = 220V x 1.5A
Watt = 330 Watt (0.33kW)
Setelah kita mengetahui Watt-nya, perhitungan selanjutnya sama dengan cara diatas, yaitu :
Biaya Listrik per Jam = tariff/kWh x Wattage
Biaya Listrik per Jam = Rp. 832 x 0.33
Biaya Listrik per Jam = Rp. 274.56/Jam
Jika di Pabrik tersebut memiliki 5 unit LCD Monitor yang dihidupkan selama 10 Jam per hari dalam 24 hari kerja. Maka Biaya pemakaian Listrik untuk LCD Monitor tersebut dalam sebulan adalah :
Rp. 274.56 x 5 unit x 10 Jam x 24 hari = Rp. 329,472 per bulan.

Catatan :
Karena Satuan perhitungan Listrik adalah Kilo Watt Per Jam atau Kilo Watt per Hour (kWh) maka Daya atau Wattage pada peralatan tersebut harus di dijadikan ke Kilo Watt terlebih dahulu (1 Watt = 0.001 kilo Watt).
Keterangan Kategori Ketinggian Tegangan berdasarkan PT. PLN :
  • Tegangan Rendah (TR)         : Tegangan dibawah 1,000 Volt
  • Tegangan Menengah (TM)     : Tegangan 1,000 Volt sampai 35,000 Volt
  • Tegangan Tinggi (TT)              : Tegangan 35,000 sampai 245,000 Volt
  • Tegangan Extra Tinggi (TET) : Tegangan diatas 245,000 Volt
(Masing-masing kategori dikenakan Tarif Dasar yang berbeda-beda)
Cara Perhitungan Pemakaian Listrik di atas dapat juga dipakai untuk pemakai Listrik lainnya seperti perumahan, pertokoan dan Sekolah.

Methode Pencatatan Bahan Baku / Spare Part

  • METODE PENCATATAN BIAYA BAHAN BAKU / SPARE PART
Ada dua macam metode pencatatan biaya bahan baku/Spare Part yang dipakai dalam produksi : metode mutasi persediaan (perpetual inventory method) dan metode persediaan fisik (physical inventory method). Dalam metode mutasi persediaan, setiap mutasi bahab baku dicatat dalam kartu persediaan. Dalam metode persediaan fisik, hanya tambahan persediaan bahan baku dari pembelian saja yang dicatat dalam kartu persediaan.
Metode persediaan fisik adalah cocok digunakan dalam penentuan biaya bahan baku dalam perusahaan yang harga pokok produksinya dikumpulkan dengan metode harga pokok proses. Metode mutasi persediaan adalah cocok digunakan dalam perusahaan yang harga pokok produksinya dikumpulkan dengan metode harga pokok pesanan.

Metode Identifikasi Khusus (Specifik Identification Method).

Dalam metode ini, setiap jenis bahan baku yang adfa di gudang harus diberi tanda pada harga pokok persatuan berapa bahan baku tersebut dibeli. Setiap pembelian bahan baku yang harga persatuannya berbeda dengan harga per satuan harga bahan baku yang sudah ada di gudang, harus dipisahkan penyimpanannya dan diberi tanda pada harga berapa bahan tersebut dibeli. Dalm metode ini, tiap-tiap jenis bahan baku yang ada di gudang jelas identitas harga pokoknya, sehingga setiap pemakaian bahan baku dapat diketahui harga pokok per satuannya secara tepat.

Metode Masuk Pertama, Keluar Pertama (Firs-in, Firs-out Method).

Metode masuk pertama, keluar pertama (metode MPKP) menentukan biaya bahan baku dengan anggapan bahwa harga pokok per satuan bahan baku yang pertama masuk dalam gudang, digunakan untuk menentukan harga bahan baku yang pertama kali dipakai. Perlu ditekankan di sini bahwa untuk menentukan biaya bahan baku, anggapan aliran biaya tida harus sesuai dengan aliran fisik bahan baku dalam produksi.

Metode Masuk Terakhir, Keluar Pertama (Last-in, Firs-out Method).

Metode masuk terakhir, keluar pertama (metode MTKP) menentukan harga pokok bahan baku yang dipakai dalam produksi dengan anggapan bahwa harga pokok per satuan bahan baku yang terakhir masuk dalam persediaan gudang, dipakai untuk menentukan harga pokok bahan baku yang pertama kali dipakai dalam produksi.



Metode Rata-Rata Bergerak (Moving Average Method).

Dalam metode ini, persediaan bahan baku yang ada di gudang dihitung harga pokok rata-ratanya, dengan cara membagi total harga pokok dengan jumlah satuannya. Setiap kali terjadi pembelian yang harga pokok per satuannya berbeda dengan harga pokok rata-rata persediaan yang ada di gudang, harus dilakukan perhitungan harga pokok rata-rata per satuan yang baru. Bahan baku yang di pakai dalam proses produksi dihitung harga pokoknya dengan mengalikan jumlah satuan bahan baku yang dipakai dengan harga pokok rata-rata per satuan harga bahan baku yang ada di gudang. Metode ini disebut pula denan metode rata-rata tertimbang, karena dalam menghitung rata-rata harga pokok persediaan bahan baku, metode ini menggunakan kuantitas bahan baku sebagai angka penimbangnya.


Metode Biaya Standart.

Dalam metode ini bahan baku yang dibeli dicatat dalam kartu persediaan sebesar harga stadart (stadart price) yaitu harga taksiran yang mencerminkan harga yang diharapkan akan terjadi di masa yang akan datang. Harga standart merupakan harga yang diperkirakan untuk tahun anggaran tertentu. Pada saat dipakai, bahan baku dibebankan kepada produk pada harga standart tersebut.

Metode Rata-Rata Harga Pokok Bahan Baku pada Akhir Bulan.

Dalam metode ini, pada tiap akhir bulan dilakukan perhitungan harga pokok rata-rata per satuan tiap jenis persediaan bahan baku yang ada di gudang. Harga pokok rata-rata per satuan ini kemudian digunakan untuk menghitung harga pokok bahan baku yang dipakai dalam produksi dalam bulan berikutnya.


  • MASALAH-MASALAH KHUSUS YANG BERHUBUNGAN DENGAN BAHAN BAKU
Dalam bagian ini diuraikan akuntansi biaya bahan baku, jika dalam proses produksi terjadi sisa bahan (scrap materials), produk cacat (defective goods), dan produk rusak (spailed goods).
  1. 1. SISA BAHAN (SCRAP MATERIALS)
Di dalam proses produksi, tidak semua bahan baku dapat menjadi bagian produk jadi. Bahan yang mengalami kerusakan di dalam proses pengerjaannya disebut sisa bahan.
Jika di dalam proses produksi mengalami proses produksi terdapat sisa bahan, masalah yang timbul adalah bagaimana mamperlakukan hasil penjualan sisa bahan tersebut. Hasil penjualan sisa bahan dapat diperlakukan sebagai :
1.Pengurang biaya bahan baku yang dipakai dalam pesanan yang menghasilkan sisa bahan tersebut.
2.Pengurang terhadap biaya overhead pabrik yang sesungguhnya terjadi
3.Penghasilan di luar usaha (other income)
Pencatatan sisa bahan : Jika jumlah dan nilai sisa bahan relative tinggi, maka diperlukan pengawasan terhadap persediaan sisa bahan. Pemegang kartu persediaan di Bagian Akuntansi perlu mencatat mutasi persediaan sisa bahan yang ada di gudang.
  1. 2. PRODUK RUSAK (SPOILED GOODS)
Produk rusak adalah produk yang tidak memenuhi standart mutu yang vtelah ditetapkan, yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki menjadi produk yang baik. Produk rusak berbeda dengan sisa bahan karena sisa bahan merupakan bahan yang mengalami kerusakan dalam proses produksi, sehingga belum sempat menjadi produk, sedangkan produk rusak merupakan produk yang telah menyerap biaya bahan, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik.

  1. 3. PRODUK CACAT (DEFECTIVE GOODS)
Produk cacat adalah produk yang tidak memenuhi standart mutu yang telah ditentukan, tetapi dengan mengeluarkan biaya pengerjaan kembali untuk memperbaikinya, produk tersebut secara ekonomis dapat disempurnakan lagi menjadi produk yang lebih baik.
Masalah yang timbul dalam produk cacat adalah bagaimana memperlakukan biaya tambahan untuk mengerjakan kembali (rework cost) produk cacat tersebut. Perlakuan terhadap pengerjaan kembali produk cacat adalah mirip dengan yang telah dibicarakan dalam produk rusak(spoiled goods).
Jika produk cacat bukan merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses produksi, tetapi karena karakteristik pengerjaan pesanan tertentu, maka biaya pengerjaan kembali produk cacat dapat dibebankan sebagai tambahan biaya produksi pesanan yang bersangkutan.
Jika produk cacat merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses pengerjaan produk, maka baiaya pengerjaan kembali dapat dibebankan kepada seluruh produksi dengan cara memperhitungkan biaya pengerjaan kembali tersebut ke dalam tariff biaya overhead pabrik. Biaya pengerjaan kembali produk cacat yang sesungguhnya terjadi di debitkan dalam rekening biaya overhead pabrik sesungguhnya.

HPP dan Perlakuan Akuntansi pada Produk Cacat/Rusak

Produk rusak (spoilage) merupakan unit yang tidak dapat diterima sehingga harus dibuang atau dijual dengan nilai yang lebih rendah. Produk cacat (rework) adalah unit yang perlu diperbaiki secara ekonomi, sehingga produk tersebut dapat dijual melalui saluran reguler. Sisa Bahan (Scrap) merupakan bagian dari produk yang tidak memiliki nilai atau jika memiliki, nilainya sangat kecil.

1. Produk Rusak     Ada dua jenis produk rusak : produk rusak normal dan produk rusak tidak normal. Produk rusak normal terjadi dalam kondisi operasi yang efisien dan tidak dapat dikendalikan dalam jangka pendek dan diperhitungkan sebagai bagian dari biaya produk. Sedangkan produk rusak tidak normal menyebabkan kerugian melebihi atau di atas perkiraan dalam kondisi operasi yang efisien dan dibebankan sebagai kerugian dalam periode berjalan. 

Biasanya produk rusak ditemukan pada akhir proses dengan demikian ia telah menyerap biaya produksi sehingga harus dimasukkan dalam perhitungan unit ekuivalen.

2. Produk Cacat     Sebagaimana diketahui, produk cacat  adalah produk yang tidak sesuai standar dan masih dapat diperbaiki. Maka membutuhkan biaya perbaikan., dapat berupa biaya bahan baku, tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik. Persoalannya adalah perlakuan atas biaya perbaikan tersebut.Produk cacat dapat bersifat normal ataupun tidak normal.  Perlakuan atas biaya tambahan adalah sebagai  berikut :
-   Jika cacat normal          : biaya perbaikan  akan menambah biaya produksi.
- Jika cacat tidak normal : biaya perbaikan diperlakukan sebagai rugi produk cacat.
   Tidak dimasukkan ke dalam biaya produksi, Biaya produksi tidak bertambah.
         Produk cacat masuk dalam perhitungan unit ekuivalen.
PENGARUH LINGKUNGAN MANUFAKTUR BARU

Sistem Just In Time

Tiga pengaruh utama sistem JIT pada metode biaya proses :
  1. perbedaan dalam biaya per unit antara metode MPKP dengan rata-rata dapat dikurangi dengan cara menurunkan unit sediaan.
  2. Semakin kecil perbedaan antara sediaan akhir produk selesai dengan sediaan BDP
  3. Dibutuhkan cost driver atau dasar pembebanan yang baru (selain tenaga kerja langsung) untuk membebankan BOP ke proses dan produk.

Sistem Pemanufakturan Fleksibel dan Pemanufakturan Seluler 

     Dewasa ini semakin banyak perusahaan manufaktur yang menuju Flexible Manufacturing System (FMS) dan Cellular Manufacturing System (CMS).  FMS  menggunakan robot dan sistem penanganan bahan yang dikendalikan oleh komputer untuk menghubungkan beberapa mesin yang secara cepat dan efisien dapat diubah-ubah dari satu proses produksi ke proses produksi lainnya.

     Pengaruh FMS terhadap penentuan biaya produk sama dengan JIT. Dalam lingkungan FMS, sistem biaya proses lebih bermanfaat dibanding biaya pesanan karena lebih banyak laporan akuntansi yang didasarkan pada periode waktu bukan berdasarkan penutupan pesanan.
             
    CMS membentuk sel yang terdiri dari mesin dan peralatan yang dibutuhkan untuk mengolah bahan atau suku cadang dengan persyaratan pemrosesan yang serupa. Untuk memperbaiki efisiensi produksi, sebagian besar suku cadang berjalan dalam arah yang sama dari satu sel ke sel lainnya. Sekumpulan sel yang bertugas membuat produk, membuat suatu bentuk pabrik yang terfokus. Dengan CMS struktur proses manufaktur dilakukan berdasarkan lini produk bukan berdasarkan proses. Sehingga sistem penentuan biaya berdasarkan aktivitas (activity based costing) lebih bermanfaat dibandingkan sistem biaya proses tradisional.
Beberapa Pengertian Produk Rusak
            1. Menurut Supriono (1999:182) mengemukakan bahwa :
Produk rusak adalah produk yang kondisinya rusak atau tidak memenuhi ukuran mutu yang telah ditentukan dan tidak dapat diperbaiki secara ekonomis menjadi produk yang baik, meskipun mungkin secara teknik dapat diperbaiki akan berakibat biaya perbaikan jumlahnya lebih tinggi dibanding kenaikan nilai atau manfaat adanya perbaikan. 
2. Hartanto (1992:388) menjelaskan pengertian produk rusak adalah “merupakan unit-unit yang karena keadaan fisiknya tidak dapat dilakukan sebagai produk akhir, dan harus dibuang atau dijual dengan harga jauh dibawah harga jual produk akhir”. 
3. Mulyadi (1999:324) bahwa “produk rusak adalah produk yang tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan, yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki menjadi produk yang baik”.
Berdasarkan pengertian tentang produk rusak di atas dapat disimpulkan bahwa dalam membuat atau memproses suatu barang kadang-kadang terdapat produk rusak. Produk rusak ini merupakan produk yang tidak memenuhi standar mutu produk yang telah ditentukan dan secara ekonomis tidak dapat diperbaiki. Produk rusak ini mempunyai wujud fisik, tetapi kondisinya rusak. Pada dasarnya produk rusak secara teknis bisa diperbaiki menjadi produk yang baik, tetapi biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pada nilai manfaatnya, sehingga produk rusak dikatakan secara ekonomis tidak dapat diperbaiki. Produk rusak biasanya diketahui setelah selesainya proses produksi, sehingga produk rusak ini sudah menikmati biaya produksi sehingga produk rusak ini nantinya akan diikutkan dalam perhitungan unit ekuivalen.
Sebab Terjadinya Produk Rusak
Menurut Sutrisno (2001:124) bahwa “penyebab terjadinya produk rusak ada dua yaitu produk rusak karena kagiatan normal perusahaan atau produk rusak normal dan produk rusak karena kesalahan atau produk rusak abnormal”. Berikut ini disajikan penjelasan kedua penyebab terjadinya produk rusak :
a.       Produk rusak karena kegiatan normal perusahaan, yaitu apabila produk rusak ini memang sering terjadi pada kegiatan normal perusahaan, apabila produk rusak ini memang sering terjadi pada kegiatan normal perusahaan, sehingga biasanya memang dicadangkan adanya produk rusak dalam proses produksi. Untuk dapat dikatakan normal, menurut Hartanto (1992:390) bahwa sejumlah produk rusak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Diharapkan terjadi dalam kondisi operasi yang efisien.
2.      Bersifat inheren pada tingkat operasi yang direncanakan
3.      Bersifat tidak terkendali untuk jangka pendek.
Pada umumnya, biaya produksi atau harga pokok produk rusak yang bersifat normal diperlakukan sebagai bagian dari harga pokok produk selesai, karena adanya produk rusak dianggap perlu untuk menghasilkan sejumlah produk selesai tersebut.
b.      Produk rusak, karena kesalahan atau abnormal, yaitu apabila produk rusak yang penyebabnya karena kurangnya pengawasan, kesalahan pengerjaan, kerusakan mesin, pemakaian bahan dibawah kualitas standar. Untuk dapat dikatakan abnormal, maka Hartanto (1992:391) mengemukakan bahwa produk rusak memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.      Tidak diharapkan terjadi dalam kondisi operasi yang efisien.
2.      Tidak bersifat inheren pada tingkat operasi yang direncanakan.
3.      Bersifat terkendalikan, dalam arti supervisor dapat mempengaruhi tingkat efisiensi operasi.
Harga pokok atau biaya produksi yang melekat pada produk rusak bersifat abnormal, karena pada dasarnya dihindarkan diperlakukan sebagai suatu kerugian dalam periode terjadinya produk rusak.
 
Perlakuan Akuntansi Produk Rusak Terhadap Harga Pokok Produksi 

Dalam proses produksi memungkinkan timbulnya produk rusak. Bagi manajemen disamping mengetahui informasi produk rusak, juga harus mengetahui apakah produk rusak tersebut sifatnya normal atau abnormal. Sedangkan dari segi akuntansi biaya timbul masalah untuk perlakuan akuntansi atas produk rusak dalam penentuan harga pokok produksi. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam perhitungan harga pokok produksi, perusahaan perlu memperhitungkan adanya unit ekuivalen untuk menentukan harga pokok produk selesai, harga pokok produk dalam proses maupun harga pokok untuk produk rusak. Sehingga dapat menghasilkan perhitungan ataupun informasi harga pokok produk yang akurat sesuai dengan metode harga pokok produksi. Hasil dari perhitungan harga pokok produk tersebut dibuatkan jurnal sesuai dengan prosedur akuntansinya.
Tergantung pada tipe produksinya atau departemen-departemen yang tercakup dalam proses produksinya, di dalam praktek, terdapat berbagai metode atau perlakuan akuntansi terhadap produk rusak yang tidak dapat ditolerir, karena menyimpang dari tujuan akuntansinya, sampai yang paling akurat dan sangat informatif. Menurut Hartanto (1992:391) bahwa idealnya, akuntansi terhadap produk rusak harus mencakup tahap-tahap adalah :
a.       Tahap alokasi biaya produksi kepada harga pokok produk akhir, produk rusak normal dan produk rusak abnormal.
b.      Tahap pembebanan harga pokok produk rusak baik kepada produk akhir (untuk yang rusak normal) maupun kepada rugi produk rusak (untuk yang rusak abnormal).
Menurut Sutrisno (2001:124) bahwa “perlakuan harga pokok produk rusak, selain penyebab terjadinya produk rusak juga dipengaruhi apakah produk rusak tersebut laku dijual atau tidak laku dijual”. Uraian dari perlakuan harga pokok produk rusak tersebut di atas disajikan berikut ini:
a. Produk Rusak Tidak Laku Dijual
1.      Apabila penyebab terjadinya produk rusak bersifat normal, maka harga pokok produk rusak yang tidak laku dijual ini, akan dibebankan kepada produk selesai, yang mengakibatkan harga pokok produk selesai akan dibebankan kepada produk selesai, sehingga harga pokok produk selesai per unit akan menjadi lebih besar. Jadi, perlakuannya sama dengan produk akhir proses.
  Jurnal yang dibuat adalah :
                                 Persediaan Produk Selesai                                              Rp XXX
                                 Barang Dalam Proses – Biaya Bahan                              Rp XXX
                                 Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja                   Rp XXX
                                 Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik              Rp XXX
2.      Terjadinya produk rusak karena kesalahan dan produk rusak tidak laku dijual, maka harga pokok produk rusak tersebut tidak boleh diperhitungkan kedalam harga pokok produk selesai, tetapi harus dianggap sebagai kerugian, sehingga akan diperlakukan sebagai rugi produk rusak.
   Jurnal yang dibuat adalah :
                                Rugi Produk Rusak                                                         Rp XXX
                                Barang Dalam Proses – Biaya Bahan                               Rp XXX
                                Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja                    Rp XXX
                                Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik               Rp XXX
b. Produk Rusak Laku Dijual
1.      Bila penyebab produk rusak karena kegiatan normal perusahaan, dan produk rusak tersebut laku dijual, maka hasil penjualan produk rusak tersebut dapat diperlakukan sebagai:
a.       Pengurangan harga pokok selesai
Harga pokok produk rusak dibebankan ke produk selesai, sehingga apabila produk rusak tersebut laku dijual, maka sudah sewajarnya hasil penjualan tersebut digunakan sebagai pengurangan harga pokok produk selesai.
Jurnal yang dibuat adalah :
                         (D) Kas/Piutang Dagang                       Rp XXX
                (K) Persediaan Produk Selesai             Rp XXX
b.      Pengurang semua biaya produksi.
Dengan perlakuan ini memerlukan alokasi yang adil pada setiap elemen biaya produksi pada departemen dimana terdapat produk rusak, salah satu metode dapat digunakan alokasi berdasarkan perbandingan setiap elemen biaya.
Jurnal yang dibuat adalah :
                         (D) Kas/Piutang Dagang                                                          Rp XXX
                         (K) Barang Dalam Proses – Biaya Bahan                                 Rp XXX
                         (K) Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja                      Rp XXX
                         (K) Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik                 Rp XXX
c.       Pengurang biaya overhead pabrik
Perlakuan ini sangat mudah, tetapi perlu diperhitungkan bahwa apabila hasil penjualan produk rusak cukup besar sedang jumlah biaya overhead pabrik kecil, dimungkinkan biaya overhead akan minus.
Jurnal yang dibuat adalah :
                         (D) Kas/Piutang Dagang                                                        Rp XXX
                         (K) Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik              Rp XXX
d.      Penghasilan lain-lain
Perlakuan ini paling mudah digunakan, sehingga pada laporan harga pokok produksi nantinya sama dengan apabila ada produk hilang pada akhir proses tapi tidak sesuai dengan perlakuan harga pokok produk selesai.
Jurnal yang dibuat adalah :
                          (D) Kas/Piutang Dagang                                 Rp XXX
                          (K) Penghasilan lain-lain                                 Rp XXX
2.      Produk rusak yang laku dijual dan penyebab produk rusak karena kesalahan atau disebut juga produk rusak abnormal, maka hasil penjualan produk rusak tersebut akan diperlakukan sebagai pengurang rugi produk rusak, hal ini sesuai karena harga pokok produk rusak nantinya akan dimasukkan kedalam laporan rugi-laba sebagai elemen biaya lain.
Jurnal yang dibuat untuk mencatat hasil penjualan produk rusak yang diperlakukan sebagai pengurang rugi produk rusak adalah:
                                (D) Kas/Piutang Dagang                                 Rp XXX
                                (K) Rugi Produk Rusak                                  Rp XXX
Menurut Sutrisno (2001:133) bahwa “harga pokok produk rusak diperlakukan sebagai kerugian dan dimasukkan kedalam rekening rugi produk rusak yang pada akhir periode akan masuk pada laporan rugi-laba sebagai elemen biaya lain-lain”.